Selasa, 05 April 2022

DASAR-DASAR PEMBUATAN KONTEN DIGITAL

Pemasaran Konten untuk Perpustakaan Perpustakaan dan lembaga informasi perlu membangun komunikasi yang bernilai dan relevan bagi kalangan pengguna jasa secara konsisten. Dengan konten yang tepat, perpustakaan dan lembaga informasi dapat: 

1. menarik kalangan pengguna jasa yang tepat sesuai dengan sasaran organisasi; 
2. melibatkan kalangan pengguna jasa untuk membangun kepercayaan, berinteraksi dan ikut mempromosikan perpustakaan dan lembaga informasi; 
3. mempertahankan audiens dengan menjadi sumber informasi dengan konten yang berguna dan menyenangkan bagi audiens Ragam Jenis Konten Digital Konten digital dapat mencakup berbagai format dokumen yang dibuat untuk didiseminasikan melalui media digital. 

Secara umum, konten digital dapat berupa teks, gambar, audio, video, dan kombinasi dari format-format tersebut. Konten digital idealnya tidak diciptakan untuk dicetak kembali. Pembuat konten digital perlu merancang konten agar sesuai dengan karakteristik media digital yang digunakan. Jika sebuah konten hendak disebarkan melalui media digital yang berbeda, maka penyajian konten harus disesuaikan dengan cara penggunaan media tersebut. Berikut ini adalah contoh pengembangan konten berdasarkan sebuah artikel. Artikel ini dikembangkan menjadi beberapa konten yang berbeda dengan gagasan yang sama. Pengembangan konten tersebut disesuaikan dengan karakteristik media digital yang dikelola oleh penyelenggara forum, yaitu website dan akun media sosial Facebook, Twitter, Instagram dan Youtube. Menjaga Presensi Menjaga presensi atau keep presence merupakan faktor penting untuk mempertahankan keterlibatan atau engagement dengan audiens. Karena itulah pengelola platform digital perlu menyiapkan jumlah konten yang memadai. Setiap platform sebaiknya aktif menampilkan konten baru secara rutin. Website dapat menampilkan konten baru setidaknya satu kali di setiap pekan. Media sosial perlu diaktifkan secara harian, atau setidaknya 3 minggu sekali melalui feed, stories atau fitur lainnya sesuai karakteristik platform yang digunakan.

BLOG DAN VLOG

Blog adalah kependekan dari web dan log dimana web atau sering juga disebut website adalah sejumlah halaman online yang dapat diakses dengan komputer atau perangkat lain yang terhubung dalam jaringan internet. Sedangkan log berarti catatan harian sehingga Weblog (disingkat blog) adalah catatan mengenai aktivitas baik harian ataupun periode tertentu yang disimpan didalam halaman website. Istilah blog pertama kali dicetuskan oleh John Barger pada bulan Desember 1997 yang menulis catatan kegiatan harianya di website pribadinya, selain itu dia juga menambahkan banyak tautan yang dianggap perlu untuk ia kunjungi kemudian istilah blog menjadi populer hingga saat ini. 

Vlog adalah kependekan dari video dan log yang berarti adalah catatan kegiatan maupun aktivitas harian atau periode tertentu yang dikemas dalam bentuk video dan diupload di internet. Jika blog adalah dalam bentuk halaman sedangkan vlog adalah dalam bentuk video format dan biasanya disimpan dalam situs yang menyediakan fasilitas penyimpanan video sehingga bisa diakses oleh siapapun dari penjuru dunia yang terhubung melalui jaringan internet. Kepopuleran blog bisa disebabkan oleh banyak faktor diantaranya kemudahan didalam penggunaan, tampilan yang sederhana dan mudah dimengerti dengan tidak terlalu banyak navigasi. Selain itu ada yang faktor yang tak kalah penting yaitu investasi yang dikeluarkan untuk mulai menulis blog yang dalam hal ini adalah platform Blogger sebagai juaranya karena tidak dikenai biaya apapun alias gratis, dinomor 2 ada platform yang memiliki komunitas paling kuat dan solid yaitu Wordpress. 

Untuk Wordpress ada beberapa paket pembiayaan dari mulai gratis sampai ratusan dollar tergantung kepada fitur-fitur dari platform yang digunakan. Berikut ini adalah daftar platform blog yang populer di Indonesia yaitu: 

1. Blogger.com 
2. Wordpress.com 
3. Joomla! 
4. Drupal 
5. Weebly.com 
6. Webs.com 
7. Tumblr.com 
8. Livejournal.com 

 Daftar Platform Vlog yang Populer 
1. Youtube 
2. Vimeo 
3. Vidio 
4. Dailymotion 
5. Flickr 
6. Veoh 
7. MySpace

Rabu, 11 Juni 2014

pelestarian bahan pustaka

PELESTARIAN BAHAN PUSTAKA

 

2.1  Pengertian Pelestarian

Kata pelestarian oleh kalangan perpustakaan, arsip dan museum diterjemahkan dari kata preservasi (preservation) dan konservasi (conservation). Menurut The American Institute for Conservation yang selanjutnya disingkat AIC, preservasi mempunyai pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan pengertian konservasi. Preservasi adalah aktivitas memperkecil kerusakan secara fisik dan kimiawi dan mencegah hilangnya kandungan informasi. Tujuan utama preservasi adalah memperpanjang eksistensi benda budaya, sedangkan pengertian konservasi merupakan istilah yang lebih spesifik, yaitu menyangkut penanganan secara fisik pada masing-masing benda budaya, biasanya setelah benda budaya tersebut sudah mengalami kerusakan.
Lain halnya dengan pengertian yang dikemukakan oleh Feilden, konservasi mempunyai pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan preservasi. Menurut sumber ini, ada beberapa tingkatan dalam kegiatan konservasi, yaitu: prevention of deterioration, preservation, consolidation, restoration and reproduction yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:  prevention of deterioration: tindakan preventif untuk melindungi benda budaya dengan mengendalikan kondisi lingkungan dan kerusakan lainnya, termasuk cara penanganan; preservation: penanganan yang berhubungan langsung pada benda budaya. Kerusakan karena udara lembab, faktor kimia, serangga dan mikroorganisme harus dihentikan  untuk menghindari kerusakan lebih lanjut; consolidation: memperkuat bahan yang rapuh dengan memberikan perekat (adhesive) atau bahan penguat lainnya; restoration: memperbaiki koleksi yang telah rusak dengan mengganti bagian yang hilang agar bentuknya mendekati keadaan semula; reproduction: membuat copy dari bahan asli, termasuk membuat bentuk mikro, foto repro dan replika serta transformasi ke dalam bentuk digital. Senada dengan pengertian yang dikemukakan oleh AIC dan Dureau adalah pengertian yang dikemukakan oleh Teygeler, bahwa preservasi terdiri dari empat komponen, yaitu: preventive conservation, passive conservation, active conservationand restoration, yang pengertiannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.         Preventive conservation: yaitu tindakan dalam mengoptimalkan kondisi lingkungan untuk memperpanjang umur koleksi. Tindakan ini dimulai dengan menyusun kebijakan yang jelas. Kebijakan tersebut mencakup pelatihan, membangun kesadaran dan adanya staf yang profesional.
b.        Passive conservation: yaitu kegiatan-kegiatan untuk memperpanjang umur koleksi yang mencakup memonitor kebersihan, udara bersih, penggunaan AC. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam passive conservation ini adalah melaksanakan survei untuk mengetahui  kondisi fisik  koleksi dan kondisi lingkungan tempat koleksi disimpan.
c.         Active conservation: adalah tindakan yang berhubungan langsung dengan koleksi. Tindakan ini meliputi: membuat kotak pelindung dan membungkus ulang koleksi, menjilid ulang dengan mengganti lembar pelindung (end paper) dengan kertas bebas asam, membersihkan koleksi, menetralkan asam (deacidification) dan lain-lain.
d.        Restoration: yaitu tindakan untuk memperpanjang umur koleksi dengan memperbaiki tampilan fisik koleksi agar mendekati keadaan semula sesuai dengan aturan dan etika konservasi.

tujuan utama program pelestarian bahan perpustakaan adalah`mengusahakan agar koleksi bahan perpustakaan selalu tersedia dalam keadaan siap pakai. Hal ini dapat dilakukan dengan melestarikan bentuk asli dengan cara memelihara, merawat, mengawetkan dan memperbaiki bahan perpustakaan serta melestarikan kandungan informasi melalui alihmedia ke dalam bentuk mikro, fotografi dan transformasi  ke dalam bentuk digital.

2.2  Jenis Materi Bahan Perpustakaan

a.  Bahan Perpustakaan dari Kertas
1)        Bahan baku kertas:
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kertas adalah serat selulosa yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan, seperti kayu, bambu, merang, ampas tebu, kapas dan lain-lain. Selulosa ini terbagi dalam tiga bentuk, yaitu: alpha selulosa, beta selulosa dan gamma selulosa. Alpha selulosa mempunyai derajat polimerisasi paling tinggi dan biasa dipakai untuk membuat bubur kertas, sedangkan  beta dan gamma selulosa mempunyai derajat polimerisasi yang lebih rendah dan merupakan senyawa hemiselulosa. Kayu dan merang selain mengandung selulosa murni juga mengandung lignin dan hemiselulosa. Lignin dan hemiselulosa dalam kayu terikat satu sama lain diantara selulosa. Pada pembuatan kertas, lignin dan hemiselulosa harus dipisahkan dan dihilangkan, karena adanya bahan ini akan menyebabkan kertas selalu bersifat asam.
Selain dari bahan-bahan tersebut di atas terdapat bahan tambahan yang dipergunakan untuk membuat kertas. Bahan-bahan tersebut dapat dibagi menurut fungsinya, yaitu:
a)        Bahan penambah volume, seperti kaolin, kalsium sulfat, kalsium karbonat, titanium oksida dan lain-lain.
b)        Bahan penahan penyebaran tinta di atas kertas dan bahan penahan penyerapan uap air seperti: alum rosin, malam, tepung dan sodium silikat.
c)        Zat warna seperti pigmen dan zat warna tumbuhan untuk memberi warna yang diinginkan.
d)        Perekat untuk memberi lapisan pelindung pada kertas, seperti resin dan polyvinyl alkohol.
e)        Bahan untuk memberi daya tahan pada kertas, seperti: formaldehide untuk melindungi kertas dari jamur.
2)      Proses pembuatan kertas
a)   Proses pembuatan bubur kertas
Dapat dibagi menjadi tiga macam cara, yaitu: proses mekanis, proses semikimia dan proses kimia. Pada proses mekanis, bahan baku kayu digiling dengan batu besar sambil dibasahi dengan air. Bubur kertas yang dihasilkan kurang murni dan seratnya  banyak yang rusak serta kekuatannya rendah. Pada proses semikimia bahan baku kayu direndam dan dipanaskan dengan larutan bahan kimia sampai lunak, baru kemudian digiling. Dengan cara ini diperoleh bubur kertas yang dihasilkan yang lebih baik walaupun masih kurang murni.
Proses pembuatan bubur kertas dengan cara kimia, bahan baku kayu dimasak dengan bahan kimia tertentu sampai lignin dan hemiselulosa yang tidak diinginkan terpisah dari serat selulosa. Bubur kertas yang dihasilkan dengan proses ini lebih murni dan seratnya tidak rusak. Berdasarkan perbedaan bahan pemasak yang dipakai, maka dikenal 3 cara pembuatan bubur kertas dengan proses kimia, yaitu:
1)        Proses soda: bahan pemasak yang dipakai adalah natrium karbonat dan natrium hidroksida. Pemasakan  dilakukan pada suhu 160 – 170 O C selama 6 – 8 jam. Bubur kertas (Pulp) yang dihasilkan berwarna coklat dan dapat diputihkan. Biasanya bubur kertas ini ditambah dengan bubur kertas dari bahan lain untuk membuat kertas tulis.
2)        Proses sulfat : bahan pemasak yang dipakai adalah natrium hidroksida, natrium sulfit dan natrium karbonat. Pemasakan dilakukan pada suhu 170O C selama  2 – 5 jam. Bubur kertas yang dihasilkan berwarna coklat, sukar diputihkan, tetapi seratnya kuat. Bubur kertas ini dipakai untuk membuat kertas kantong.
3)        Proses sulfit: bahan  yang dipakai adalah garam-garam sulfit seperti natrium sulfit, natrium sulfit asam dan kadang kadang dipakai garam-garam kalsium dan magnesium. Bubur kertas yang dihasilkan dapat diputihkan. Biasanya dipakai untuk membuat kertas tulis.
Untuk menghilangkan bahan-bahan berwarna lain yang tidak diinginkan, maka bubur kertas dimurnikan dengan bahan pengelantang, seperti kaporit, klor dioksida dan hidrogen peroksida.
2)        Proses pembuatan lembaran kertas.
Pada dasarnya proses pembuatan lembaran kertas dari bubur adalah pengolahan bahan tersebut dengan menambahkan bahan pengisi, zat warna dan bahan tambahan lain untuk memperbaiki mutu kertas. Bubur kertas yang dihasilkan menurut salah satu proses di atas dipotong-potong menjadi bagian yang kecil dan diaduk hingga menjadi bubur kertas yang homogen, kemudian ditambah dengan bahan pengisi, seperti tawas, kaolin, tapioka, kalsium sulfat, rosin dan lain-lain. Penambahan ini untuk memperbaiki sifat kertas, misalnya merapatkan pori-pori, menambah kekuatan dan melicinkan permukaan kertas.
Bubur kertas yang telah homogen itu dituangkan ke dalam alat pembentuk lembaran kertas dengan ukuran lebar dan ketebalan tertentu. Kemudian dikeringkan dengan rol-rol baja yang dipanaskan dengan uap air. Pemanasan dilakukan bertingkat untuk menjaga mutu kertas yang dihasilkan.

b.    Bahan Perpustakaan Bukan Kertas
1)        Fotografi: Bahan fotografi dalam pengertian yang lebih luas di perpustakaan mencakup film gambar hidup, (film hitam putih dan film berwarna), bentuk mikro (mikrofilm dan mikrofis), koleksi foto (hasil cetakan dan negatif foto). Koleksi tersebut terbuat dari plastik film (selulosa nitrat, selulosa asetat, polyester) yang pada permukaannya dilapisi dengan emulsi senyawa perak yodida. Untuk mendapatkan gambar akhir dari fotografi diperlukan proses yang terdiri dari: pengembangan (developing), pemantapan (fixation), pencucian dan pengeringan.
2)        Pita Magnetik: Pita magnetic digunakan untuk merekam data dan suara. Contohnya pita kaset dan pita komputer. Keawetan dan daya tahan rekaman suara tidak menjadi bahan pertimbangan utama, karena biaya produksi pita suara tersebut rendah.

3)        Piringan (disk): Piringan adalah lembaran plastik atau ebonite yang berbentuk bulat (sirkular) yang digunakan untuk merekam suara dan digital komputer. Biasanya piringan ini dilapisi dengan oksida besi seperti pada pita rekaman. Piringan yang biasa digunakan sebagai koleksi perpustakaan adalah flopi disk, VCD, CD-ROM dan lain-lain.

4)        Koleksi Digital atau objek digital merupakan objek yang memiliki struktur yang tidak terikat pada jenis mesin ataupun landasan pijak teknologinya. Koleksi digital dapat diidentifikasi, diakses dan dilindungi bilamana diperlukan.
Koleksi digital tidak hanya mengandung elemen informasi, tetapi juga memiliki identitas unik dan metadata.Termasuk dalam metadata ini adalah informasi tentang aturan akses, cacatan kepemilikan, dan perjanjian mengenai pemakaian. Dengan kata lain, objek digital dalam pengertian ini adalah objek yang punya aspek hokum dan ekonomi, selain aspek teknis dan fisik.
Dalam kontek preservasi, sebuah objek digital merupakan salah satu dari lima entitas.




2.3      Kerusakan Bahan Perpustakaan
a.    Faktor Lingkungan
Seperti  bahan organik lainnya, kertas merupakan bahan yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan, terutama jika kertas mengandung asam, lignin dan hemiselulosa. Kerusakan bahan perpustakaan tersebut disebabkan oleh:
1)  Temperatur dan Kelembapan Udara
Kelembapan nisbi atau relative humidity dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara berat uap air yang terkandung dalam udara pada volume tertentu dengan kandungan uap air maksimum yang dapat diserap oleh udara pada volume dan temperatur yang sama. Udara panas dapat menyerap lebih banyak uap air jika dibandingkan dengan udara dingin. Oleh sebab itu kelembapan udara akan naik jika temperatur turun dan sebaliknya kelembapan udara akan turun jika temperatur naik selama kandungan uap air tidak berubah.
Jumlah kandungan uap air dalam udara sangat penting diketahui karena dengan adanya uap air ini akan menambah kecepatan reaksi yang akan memacu kecepatan pelapukan bahan perpustakaan. Seperti hidrolisa asam dalam kertas akan bertambah cepat jika temperatur dan kelembapan tinggi.
Kelembapan udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menimbulkan beberapa masalah. Kombinasi antara temperatur yang tinggi dan kelembapan yang tinggi akan menyuburkan pertumbuhan jamur dan serangga. Pada keadaan kelembapan yang terlalu tinggi akan menyebabkan tinta yang larut dalam air akan menyebar dan kertas pada buku akan saling menempel, yang akan sulit dilepas pada saat kering. Sebaliknya jika kelembapan udara terlalu rendah, menyebabkan kertas menjadi kering dan getas serta sampul yang terbuat dari kulit akan menjadi keriput.
Perubahan temperatur akan menyebabkan perubahan kelembapan. Fluktuasi yang sangat drastis akan besar pengaruhnya terhadap kerusakan kertas, karena kertas akan mengendur dan menegang. Jika hal ini terjadi berulang kali, akan memutuskan ikatan rantai kimia pada serat selulosa
2)   Cahaya
Cahaya atau energi radiasi juga mempunyai efek pada bahan pustaka. Cahaya akan mempercepat oksidasi dari molekul selulosa sehingga rantai ikatan kimia pada molekul tersebut terputus. Cahaya mempunyai pengaruh mengelantang, menyebabkan kertas menjadi pucat dan tinta memudar. Karena pengaruh cahaya ini, lignin pada kertas akan bereaksi dengan komponen lain sehingga kertas berubah menjadi kecoklatan.
Sinar tampak dalam cahaya dapat merusak bahan pustaka, akan tetapi sinar ultra violet yang tidak tampak lebih reaktif dan lebih merusak. Radiasi ultra violet dengan panjang gelombang antara 300 - 400 nanometer menyebabkan reaksi fotokimia. Radiasi ultra violet ini berasal dari cahaya matahari (25 %) dan lampu TL (3 - 7 %).Kerusakan karena cahaya sangat tergantung dari panjang gelombang (adanya sinar UV) dan waktu pencahayaan. Makin kecil panjang gelombang dan makin lama waktu pencahayaan, kertas makin cepat rusak.
3)   Pencemar Udara
Semua bahan pencemar yang terkandung dalam udara berbahaya bagi bahan pustaka. Pencemar udara seperti gas sulfur dioksida, gas hidrogen sulfida dan gas nitrogen oksida yang berasal dari hasil pembakaran minyak bumi pada pabrik dan kendaraan bermotor dapat merusak bahan pustaka. Gas sulfur dioksida dan nitrogen oksida bereaksi dengan uap air yang ada di udara membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang dapat menyebabkan kertas menjadi rapuh.Gas ozon yang ada pada udara yang terjadi bersamaan dengan terjadinya halilintar (petir) juga dapat menyebabkan reaksi oksidasi pada kertas, sehingga kertas menjadi rapuh.
Debu, kotoran dan partikel lainnya yang berasal dari udara dapat merusak kertas, yaitu antara lain: kertas mudah tergores karena gesekan, partikel debu akan masuk ke sela-sela halaman buku. Partikel debu pada lingkungan yang lembab akan menimbulkan noda permanen yang sukar dihilangkan. Kotoran dan partikel padat seperti jelaga dapat menimbulkan suasana asam yang dapat merusak kertas.
4)    Faktor Biota
Mahluk hidup seperti jamur, serangga dan binatang pengerat dapat merusak bahan perpustakaan.Spora jamur selalu ada dalam udara. Spora ini akan tumbuh jika kondisi memungkinkan. Kondisi yang hangat dengan temperatur antara 32o - 35o dan kelembapan di atas 70 % RH, gelap dan sedikit sirkulasi udara, jamur akan tumbuh dengan subur. Jamur ini akan melemahkan kertas dan menimbulkan noda permanen.
Serangga dan binatang pengerat memakan serat dan bahan organik lainnya pada bahan perpustakaan.Serangga yang biasa menyerang bahan perpustakaan adalah kecoa, silverfish, booklice, bookworm dan rayap. Serangga ini memilih hidup di tempat-tempat yang hangat, gelap dan lembab. Serangga ini memakan bahan perpustakaan pada malam hari pada saat orang tidak ada.Kerusakan yang ditimbulkan biasanya tidak dapat dikembalikan seperti semula, karena ada bagian-bagian yang hilang atau berlubang. Binatang pengerat merusak bahan perpustakaan karena dimakan dan dipakai untuk membuat sarang. Binatang ini biasanya meninggalkan kotoran yang menyebabkan bahan perpustakaan menjadi kotor.
5)    Rak dan Lemari Buku yang Tidak Memenuhi Syarat
Rak dan lemari buku yang tidak memenuhi syarat dapat merusak bahan perpustakaan, misalnya ukuran buku lebih besar dari rak dan lemari buku  yang terbuat dari material yang dapat menimbulkan kerusakan pada bahan pustaka. Buku yang diletakkan pada rak yang lebih kecil dari ukuran buku dapat mengakibatkan kerusakan fisik, seperti kulit (sampul) buku menjadi patah dan melengkung sehingga blok buku yang sudah rapuh akan patah dan hancur.
6)    Bencana Alam
Bencana alam seperti kebanjiran, gempa bumi, kebakaran dan  kerusuhan merupakan faktor yang sangat sulit dielakkan. Bencana alam ini dapat memusnahkan bahan perpustakaan dalam waktu singkat.Kerusakan yang terjadi karena kebanjiran dan air hujan adalah timbulnya noda oleh jamur dan kotoran yang dibawa oleh air. Noda yang ditimbulkan oleh jamur ini sangat sukat dihilangkan karena jamur berakar di sela-sela serat kertas.

b.    Faktor Manusia
Faktor penyebab yang besar bagi kerusakan bahan perpustakaan dimungkinkan karena keterlibatan manusia. Keterlibatan tersebut dapat dilakukan secara langsung (misalnya: pencurian, pengrusakan, penanganan yang kurang hati-hati) atau kerusakan secara tidak langsung, misalnya memproduksi kertas dengan kualitas rendah, mutu jilidan yang rendah dan tidak adanya penyuluhan kepada staf dan pengguna perpustakaan.
1)        Kualitas kertas
Ada beberapa faktor kerusakan yang harus diperhatikan di dalam usaha pelestarian bahan perpustakaan yang terbuat dari kertas.Faktor utamanya ialah mutu kertas itu sendiri, selain faktor-faktor kondisi penyimpanan, penjilidan dan seringnya dipakai atau dipinjam. Kualitas kertas yang baik untuk bahan perpustakaan belum tentu secara fisik terlihat baik. Kualitas kertas yang baik sebagai bahan pustaka adalah kertas yang bebas dari senyawa-senyawa asam dan lignin.
Senyawa Asam
Kandungan Senyawa asam didalam kertas akan mempercepat reaksi hidrolisis. Makin cepat reaksi hidrolisis, makincepat terjadi pelapukan pada kertas tersebut. Senyawa-senyawa asam banyak terbentuk didalam industri kertas pada proses-proses penghancuran batang kayu menjadi bubur kertas (pulp), proses sizing (proses dimana agar tinta yang dipakai tidak mengembang pada kertas), proses pemutihan kertas merupakan senyawa yang sangat berbahaya bagi daya tahan kertas.
Lignin
Lignin adalah zat yang banyak terkandung didalam serat-serat selulosa pada kayu. Kertas yang banyak mengandung lignin akan mengubah warna kertas dari putih menjadi kuning kecoklatan dan kertas menjadi lapuk.
Asam dan lignin banyak dijumpai pada kertas modern yaitu kertas yang diproduksi setelah tahun 1850. Pada tahun ini, dikenal pembuatan kertas dengan proses pulp, yakni proses pembuatan kertas dengan memakai bahan baku kayu dan memakai senyawa-senyawa kimia sebagai bahan tambahannya. Sedangkan yang disebut kertas kuno yaitu kertas yang diproduksi sebelum tahun 1850, dibuat dari bahan kayu kapas atau serat-serat tumbuhan yang tidak mengandung lignin sedang zat tambahannya dibuat dari bahan-bahan alami yang relatif sedikit mengandung senyawa asam, sehingga kertas kuno relatif lebih tahan lama dan kuat dari pada kertas modern.
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kualitas kertas yang baik untuk bahan pustaka serta pentingnya peranan bahan pustaka sebagai media informasi dimasa mendatang, mengakibatkan sering kita temui bahan pustaka yang belum lama disimpan sudah dalam kondisi yang kurang baik, kertasnya rapuh dan berubah warna menjadi kuning kecoklatan, bahkan ada pula yang hancur sama sekali. Dengan hancurnya kertas tersebut, berakibat hancur pula informasi yang terkandung didalamnya dan hal ini tentunya merupakan kerugian yang tak ternilai.
c  Salah penanganan
Cara penanganan yang salah dan kurang hati-hati baik yang dilakukan oleh staf maupun pengguna dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pustaka. Penanganan tersebut antara lain:
1)        Penanganan secara umum :Bahan perpustakaan hendaknya dilindungi dari kerusakan yang disebabkan karena faktor eksternal, seperti debu, air, makanan dan minuman, cahaya langsung.
2)        Penataan (shelving) :Tindakan yang kurang hati-hati pada saat penataan akan menyebabkan kerusakan pada bahan perpustakaan. Menyusun buku terlalu padat dalam rak akan menyulitkan dalam mengambil bahan perpustakaan yang berakibat merusak punggung buku. Meletakkan buku tengkurap (bertumpu pada muka buku) akan menyebabkan isi buku terlepas dari sampul depan.
3)        Kontrol Bibliografi :Bila sebuah buku yang terdapat dalam koleksi perpustakaan dalam keadaan rusak, hendaknya dipastikan adanya copy dari buku tersebut dalam kondisi yang lebih baik atau dibuatkan mikrofilmnya. Seandainya hal tersebut tidak mungkin, hendaknya dipastikan pula apakah perpustakaan lain memiliki copy atau mikrofilmnya. Pengecekan tersebut terjadi hanya bila diadakan kegiatan kontrol bibliografi (bibliography control).
4)        Reproduksi :Kegiatan reproduksi seperti mikrografi, fotografi,photocopy dan digitalisasi merupakan upaya dalam melestarikan bahanperpustakaan, namun pelaksanaan yang kurang terkendali dapat menyebabkan jilidan bahan pustaka menjadi rusak dan bahan pustaka rapuh menjadi hancur.
5)        Perbaikan kerusakan kecil pada bahan perpustakaan  :Buku atau bahan perpustakaan yang robek, halaman terlepas dari blok buku atau menyatukan lembaran-lembaran lepas biasanya menggunakan selotape atau lackband. Perlakuan ini adalah tidak benar, karena bahan tersebut justru akan merusak bahan perpustakaan tersebut. Demikian pula halnya dengan penggunaan karet gelang sebagai pengikat bahan perpustakaan yang lepas atau rusak.
d. Mutu jilidan
1)        Untuk mendapatkan jilidan yang sesuai haruslah dipikirkan maksud dan tujuan serta bentuk jilidannya. Umumnya pustakawan menginginkan bentuk jilidan yang kuat tanpa memikirkan kesesuaiannya, sehingga seringkali justru dapat menyebabkan kerusakan. Menjahit kembali akan menghasilkan jilidan yang sangat kuat, namun dengan menjahit kembali kadangkala buku menjadi tidak dapat dibuka secara penuh. Oleh karena itu sedapat mungkin jahitan asli tetap dipertahankan. Memotong bagian tepi buku biasanya dilakukan agar hasil jilidan terlihat rapi, tetapi bila suatu saat buku tersebut harus dijilid kembali maka volume buku akan berkurang bahkan memungkinkan hilangnya sebagian tulisan.
2)        Penggunaan bahan-bahan jilidan seperti karton, kertas pelindung yang mengandung asam dan lignin akan menyebabkan bahan perpustakaan menjadi rapuh dan lemah, karena asam yang terdapat pada karton dan lembar pelindung akan berpindah ke dalam buku.
e. Penyimpanan
Kesalahan dalam penyimpanan dapat menyebabkan kerusakan fisik dan kimia pada bahan perpustakaan. Kondisi ruang yang tidak sesuai akan menyebabkan tumbuhnya jamur, meningkatkan kandungan asam dan tempat bersarangnya serangga, tikus maupun mikroorganisme lainnya yang merugikan.
Kondisi rak yang kurang sesuai, misalnya kurang kuat, mudah terbakar, mempunyai sudut dan tepi yang tajam akan menyebabkan kerusakan. Memaksakan penyimpanan buku yang lebih tinggi dari lebar rak, akan merusak jilidan dan kertas menjadi robek, begitu pula untuk buku-buku yang lebarmya tidak sesuai, mengakibatkan buku akan terjuntai dan menjadi rusak.
f.  Pemakaian yang berlebih
Bahan perpustakaan yang sering dipakai atau dipinjam akan menyebabkan jilidan menjadi kendur dan kumal. Bahan perpustakaan akan semakin rusak apabila berada pada tangan pengguna/peminjam yang tidak mengerti bagaimana memperlakukan  bahanperpustakaan dengan baik.

2.4 Perencanaan Pelestarian Bahan Perpustakaan

a.        Analisis kebutuhan pelestarian:

Analisis kebutuhan adalah alat manajemen dan merupakan bagian dari proses perencanaan pelestarian untuk mengembangkan dan mengimplementasikan program pelestarian. Analisis kebutuhan pelestarian ini dilaksanakan dengan suatu instrumen, biasanya melalui survei untuk mengevaluasi kebijakan, kondisi koleksi, kondisi lingkungan yang mempengaruhi pelestarian koleksi.
Ada dua metodologi survei, yaitu survei kuantitatif dan survei kualitatif.Survei kuantitatif mencakup statistik dan menarik sampel secara acak (random sampling) dan biasanya ini untuk menentukan kondisi koleksi (keasaman kertas, kerusakan film pada koleksi bentuk mikro). Survei kondisi koleksi ini akan menghasilkan data penting untuk menentukan koleksi mana yang perlu mendapat perhatian. Sedangkan survei kualitatif dilakukan untuk mengevaluasi yang berhubungan dengan :
1)        kebijakan dan prosedur;
2)        bangunan dan kondisi lingkungan;
3)        kesiapan menghadapi bencana;
4)        pameran;
5)        alihmedia (transformasi informasi);
6)        kebutuhan penanganan konservasi. Survei ini biasa disebut survei perencanaan pelestarian secara umum.
Tujuan utama survei adalah untuk mengidentifikasi kerusakan dan penyebab kerusakan bahan perpustakaansecara keseluruhan serta untuk membantu pelestarian dengan strategi pemeliharaan.Survei ini terdiri dari survei kondisi koleksi dan survei kondisi tempat penyimpanan, prosedur penanganan, kesiapan menghadapi bencana dll.
b.        Survei Kondisi Bahan Perpustakaan
Survei kondisi bahan perpustakaan seperti yang dilaksanakan di Standford University Libraries (The IRT for Conservation & Preservation, Appendix D) merupakan sarana untuk mengetahui kerusakan dan pelapukan bahan perpustakaan. Tujuan survei ini adalah untuk menentukan kebutuhan sumber daya dan dana yang akan digunakan dalam pelestarian. Survei kondisi bahan perpustakaan ini meliputi: kondisi kertas, kondisi jilidan dan kondisi board (cover).  Dari hasil survei ini akan diperoleh kondisi rusak yang harus secepatnya mendapat perawatan dan perbaikan, kondisi sedang yang perlu mendapat perhatian, serta kondisi baik yang harus dipelihara agar tidak menjadi rusak.
c.         Survei Kondisi Lingkungan Koleksi (Survei Fasilitas Perpustakaan)
Survei kondisi lingkungan bertujuan untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan preventif yang perlu diambil untuk menyelamatkan koleksi  dari faktor-faktor potensial yang merusak. Selain itu untuk mengidentifikasi langkah-langkah penanganan konservasi, termasuk penanganan pada setiap koleksi, perkiraan biaya yang diperlukan dalam penanganan konservasi. Selanjutnya penanganan apa yang harus didahulukan untuk menyelamatkan koleksi.
Survei fasilitas perpustakaan meliputi bagaimana kondisi tempat penyimpanan, ruang baca dan kondisi lingkungan, termasuk kondisi fisik tempat penyimpanan, intensitas cahaya dan kandungan ultra violet dalam cahaya, temperatur, kelembapan  serta analisis debu untuk mengetahui tingkat pencemaran serta perencanaan kesiapan menghadapi bencana. Selain dari pada itu juga meneliti kondisi gedung yang berrisiko tinggi bagi keamanan, api dan bahaya banjir.
 Tujuan dari survei ini adalah untuk menyusun perencanaan kesiapan menghadapi bencana dan kebijakan pelestarian bahan pustaka:
1)        Pengamanan dan Kesiapan Menghadapi Bencana
Kesiapan menghadapi suatu bencana merupakan hal yang harus dilakukan oleh suatu perpustakaan sebagai tindakan preventif untuk menjaga kemungkinan kerusakan koleksi baik disebabkan oleh manusia maupun oleh bencana. Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi bencana adalah: pengawasan secara periodik terhadap kondisi peralatan pendeteksi penyebab bencana (api dan air), termasuk peralatan untuk pemadaman api, kesiapan menghadapi pencurian dan vandalisme, serta perlu adanya tim yang dipersiapkan untuk menghadapi bencana tersebut
Bencana adalah kecelakaan dalam berbagai skala yang dapat menyebabkan kerusakan serius pada apa saja yang dilandanya, termasuk gedung perpustakaan dan bahan pustaka yang ada didalamnya serta membutuhkan konsekuensi waktu yang lama untuk pemulihannya. Bencana tersebut dapat berupa ; vandalisme, pecahnya pipa air, udara lembab, kebakaran, salah penanganan, kebanjiran, angin ribut, gempa bumi.
Bencana biasanya datang tak terduga dan di luar kemampuan manusia untuk mengetahui kapan hal tersebut terjadi. Namun demikian kita harus tetap berusaha agar kerusakan  yang diakibatkan oleh bencana ini dapat ditekan seminimal mungkin. Oleh sebab itu diperlukan adanya Perencanaan Kesiapan Menghadapi Bencana untuk mengatasinya.
Perencanaan ini diperlukan untuk :
a)        Memperkecil risiko kerusakan agar koleksi selalu tersedia bagi pengguna jasa perpustakaan, baik di masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
b)        Mengurangi rasa panik pada staf dan dapat memberikan jalan keluar untuk mengatasinya.
c)        Menyediakan stok bahan dan peralatan yang akan digunakan dalam keadaan darurat
d)       Menyediakan daftar nama orang atau lembaga yang harus dihubungi jika terjadi keadaan darurat.
Perencanaan kesiapan menghadapi bencana merupakan bagian dari program pelestarian bahan pustaka di setiap perpustakaan. Esensi dari perencanaan ini disusun atas dasar pemikiran bahwa bencana dapat dan akan terjadi khususnya di Perpustakaan. Oleh karena itu kewajiban kita untuk menyusun perencanaan ini guna menjawab tidak hanya bagaimana cara mencegah, tetapi juga apa yang diperbuat ketika bencana itu datang (guna meminimalkan kerusakan yang diakibatkannya) dan langkah pemulihannya.
Secara garis besar Perencanaan Kesiapan Menghadapi Bencana dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a)        Tahap Pencegahan
Pencegahan termasuk tindakan untuk meminimalkan terjadinya hal-hal yang menyebabkan terjadinya bencana (kesalahan penanganan, api, banjir) dan untuk meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh bencana tersebut. Contohnya :   Penyiapan peralatan penyimpanan yang sesuai akan melindungi setiap koleksi, pengamanan terhadap bentuk mikro dan koleksi-koleksi berharga lainnya dari kerusakan yang disebabkan oleh bencana.
b)       Tahap Respons
Langkah pertama adalah membentuk Tim Respons terhadap bencana yang anggota-anggotanya memungkinkan untuk selalu ada di tempat pada saat bencana terjadi, melatih personel-personel tersebut dan menyusun prosedur-prosedur reaksi terhadap bencana yang diikuti.
Mengidentifikasi bahan perpustakaan yang diprioritaskan untuk diselamatkan terlebih dahulu. Memasang dokumentasi-dokumentasi yang dibutuhkan, seperti denah gedung, daftar personal dengan alamat dan nomor teleponnya yang dapat dihubungi, daftar peralatan (beserta supplier-supplier-nya) yang dibutuhkan selama keadaan darurat, misalnya: peti, kertas koran atau generator dan usahakan agar daftar ini tetap “up to date”. Hal yang sangat penting adalah perencanaan menghadapi bencana hendaknya selalu diuji dan diperbaharui secara teratur.

c)        Tahap Reaksi
Tahap ini dititikberatkan bagaimana kita bereaksi jika bencana benar-benar terjadi dengan membunyikan alarm, mengumpulkan anggota tim, mengendalikan lingkungan pada lokasi bencana, menilai kerusakan awal, mengarahkan tim, masuk kedalam lokasi bencana dan memindahkan koleksi yang terkena bencana dan lain-lain. 

d)       Tahap Pemulihan
Pada tahap ini kita menyusun rencana preservasi jangka panjang  dimulai dengan pengeringan , konservasi dan restorasi koleksi yang sudah rusak.
2)    Kebijakan Pelestarian Bahan Pustaka
Kebijakan pelestarian ditujukan untuk menentukan tujuan  perpustakaan dalam strategi pengelolaan pelestarian yang meliputi pemeliharaan, perawatan, pengawetan, perbaikan dan reprografi. Biasanya dalam kebijakan menyangkut semua aspek pelaksanaan pelestarian yang meliputi periode tertentu, umpamanya  sepuluh tahun atau lebih. Proses penyusunan kebijakan  pelestarian dimulai dari penelusuran, survei kondisi, survei fasilitas perpustakaan.
Menurut Commonwealth of Australia (1995), kebijakan pelestarian merupakan suatu dokumen yang dijadikan pedoman keseluruhan dalam menyusun program pelestarian yang tepat guna, yang antara lain mencakup:
a)        Kebijakan dalam penyimpanan dan pengaturan kondisi lingkungan bagaimana menata dan menyimpan bahan perpustakaan dan kondisi yang diperlukan.
b)        Kebijakan dalam pengamanan dan kesiapan menghadapi bencana, seperti bagaimana koleksi dilindungi dari kerusakan dan kehilangan
c)        Kebijakan dalam pengelolaan koleksi. Bagaimana koleksi dilindungi selama digunakan, menentukan koleksi mana yang boleh dibaca, apakah bentuk aslinya atau bentuk mikronya.
d)        Kebijakan dalam perawatan, pengawetan dan perbaikan dan reproduksi  bahan perpustakaan. Bagaimana bahan perpustakaan tersebut dilestarikan, apakah bentuk aslinya dikonservasi atau dialih bentuk ke media lain. Jika bentuk fisiknya dilestarikan, metode apa yang dipakai.
e)        Kebijakan laindalam penerapan metode pelestarian bahan perpustakaan, termasuk kebijakan lain yang relevan dalam suatu perpustakaan, misalnya apakah dalam melaksanakan pelestarian perlu ada penelitian untuk mengembangkan teknik konservasi.
d. Penyusunan Rencana Pelestarian Bahan Perpustakaan
Perencanaan pelestarian adalah suatu proses yang direncanakan untuk menangani kebutuhan pemeliharaan koleksi, menentukan skala prioritas dan sumber daya. Tujuan utama dari perencanaan ini adalah menggambarkan suatu tindakan yang akan dilakukan oleh suatu lembaga dalam menetapkan agenda pelestarian masa depan.
Perencanaan pelestarian jangka panjang adalah perencanaan tertulis yang merupakan dokumen penting yang harus dimiliki oleh suatu lembaga. Perencanaan ini merupakan  kerangka untuk menetapkan tujuan dan prioritas yang masuk akal yang dapat dijadikan  sebagai pedoman untuk melakukan prioritas pelestarian dalam jangka waktu tertentu.
Setelah semua kegiatan dalam manajemen pelestarian ini dilakukan, maka perlu disusun rencana pelestarian bahan perpustakaan dalam bentuk kerangka acuan (TOR). Bagi perpustakaan yang jumlah koleksinya relatif kecil, penyusunan rencana pelestarian bahan perpustakaan dapat dibatasi dengan menyusun kerangka acuan sebagai berikut:
1)             Kerangka acuan mengenai pemeliharaan dan fumigasi bahan perpustakaan.
2)             Kerangka acuan tentang konservasi bahan perpustakaan
3)             Kerangka acuan tentang penjilidan bahan perpustakaan
4)             Kerangka acuan tentang Alihmedia bahan perpustakaan.
2.5 Pengorganisasian Pelestarian Bahan Perpustakaan.
a.        Struktur Organisasi Pelestarian Bahan Perpustakaan di Negara Maju
Library of Congres di Amerika Serikat, National library of Australia, British Library di Inggeris dan Died Library di Jepang memiliki unit preservasi untuk melestarikan koleksinya. Misalnya Library of Congress memiliki Preservation Direktorate, yang membawahi 4 (empat) Divisi, yaitu Collection Care Divition, Preservation Science Division, Conservation Division and Preservation Digital. Demikian juga halnya di National Library of Australia, mereka memiliki 2 (dua) Division, Yaitu: Digital Preservation Division yang menangani  pelestarian informasi dan Preservation Service Division yang menangani pelestarian fisik dan Microfilming.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa penanganan pelestarian bahan perpustakaan di negara-negara tersebut sudah sedemikian majunya sehingga merupakan salah satu unit inti dalam struktur organisasinya.
b.        Struktur Organisasi Pelestarian Bahan Perpustakaan Nasional RI
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990, Perpustakaan Nasional RI mempunyai tugas menghimpun, menyimpan, merawat dan melestarikan hasil intelektual bangsa sebagai karya dan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang serah simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, perpustakaan Nasional sebagai satu-satunya instansi penghimpun dan pelestari hasil karya bangsa dengan cakupan nasional. Dengan demikian Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah merupakan gerbang terakhir untuk menemukan koleksi indonesiana terlengkap dengan kondisi terbaik yang dapat diakses oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun.
Dan berdasarkan  Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, yang menyatakan bahwa fungsi Perpustakaan Nasional sebagai perpustakaan Pembina, penelitian, deposit, pelestarian dan pusat jejaring. Hal ini menunjukkan bahwa Perpustakaan Nasional menaruh perhatian atas pelestarian koleksinya. Hal ini juga sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Pusat Preservasi Bahan Pustaka sebagai sebagai salah satu unit kerja di bawah Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi, yaitu:
1)        Tugas Pokok Pusat Preservasi adalah melaksanakan pelestarian fisik dan kandungan informasi bahan perpustakaan.
2)        Sedangkan fungsinya adalah:
a)    Pelaksanaan pelestarian fisik bahan perpustakaan melalui pemeliharaan, perawatan, perbaikan dan penjilidan yang dilaksanakan oleh Bidang Konservasi.
b)   Pelaksanaan pelestarian kandungan informasi bahan perpustakaan melalui alih media ke bentuk mikro dam fotografi oleh Bidang Reprografi
c)    Pelaksanaan pelestarian kandungan informasi bahan perpustakaan melalui alih media ke bentuk digital.

c.         Tinjauan Struktur Organisasi Pelestarian Bahan Perpustakaan di Perpustakaan Daerah
Kita mengetahui bahwa pembentukan Badan Perpustakaan Daerah maupun Kantor Perpustakaan Daerah berdasarkan PERDA atau Surat Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota di daerah masing-masing. Oleh sebeb itu dalam struktur oranisasi Perpustakaan Daerah atau Kantor Perpustakaan keberadaan unit pelestarian tergantung dari PERDA atau Surat Keputusan Gubernur atau Surat Keputusan Bupati/Walikota tersebut. Tidaklah heran keberadaan unit pelestarian ini kadang-kadang ada dan kadang-kadang tidak ada sama sekali.
Kita bisa mengambil contoh di beberapa daerah, Di Badan Perpustakaan dan Arsip Sumatra Barat menempatkan unit pelestarian sebagai bidang (eselon III), Di Nusa Tenggara Timur menempatkan unit pelestarian terpisah, yaitu Sub Bidang Pelestarian fisik bahan perpustakaan ada di Bidang Layanan sedangkan Sub Bidang Alih Media berada di Bidang Otomasi.
2.6 Pelaksanaan Pelestarian Bahan Perpustakaan
a. Pelestarian Fisik Bahan Perpustakaan
1) Pemeliharaan dan Penyimpanan Bahan Perpustakaan
Program pelestarian bahan perpustakaan merupakan penjabaran dari definisi yang dikemukakan yang dikemukakan di atas. Pelaksanaan pelestarian dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pemeliharaan bahan perpustakaan yaitu: mengoptimalkan (mengukur, memonitor dan mengendalikan) kondisi lingkungan: pengendalian udara (kelembapan dan udara bersih, penggunaan AC, memonitor kebersihan  untuk memperpanjang umur bahan perpustakaan. Kondisi lingkungan yang ideal bagi suatu perpustakaan adalah temperatur dan kelembapan yang terkontrol, udara bersih dengan sirkulasi yang sempurna, bebas dari jamur, serangga dan binatang pengerat. Pemeliharaan dilakukan dengan cara membersihkan bahan pustaka dan ruangan secara teratur, keamanan yang terjamin dan perlindungan dari banjir dan kebakaran termasuk pengendalian lingkungan untuk melindungi bahan pustaka dari kerusakan.
Pelaksanaan pemeliharaan dapat dilakukan sebagai berikut:
a)        Pemeliharaan dan penanganan bahan perpustakaan:
(1)     Mencegah Kerusakan Karena Pengaruh Suhu dan Kelembapan  Udara
Suhu dan kelembapan udara yang ideal bagi bahan perpustakaan adalah 20o - 24o C dan 45 - 60 % RH. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kondisi seperti yang direkomendasikan oleh Ogden (http://www.nedcc.org/) adalah memasang AC 24 jam sehari selama 7 hari dalam seminggu. Masalahnya timbul karena tidak semua perpustakaan mampu memasang AC seperti ini karena biaya operasionalnya besar. Jika AC dipasang hanya setengah hari saja, maka kelembapan akan berubah-ubah. Kondisi seperti ini malah akan mempercepat kerusakan kertas. Jika dalam suatu perpustakaan sudah terlanjur memasang AC dan dioperasikan hanya setengah hari saja karena pertimbangan biaya, sebaiknya  suhu  diatur  antara 26 o - 28 o C  untuk mencegah terjadinya fluktuasi suhu udarai pada siang dan malam hari, dan suhu tersebut cukup sejuk bagi manusia dan aman bagi bahan perpustakaan.
Jika terjadi kelembapan udara yang tinggi, dapat diturunkan dengan dehumidifier atau silica gel. Dehumidifier digunakan untuk menurunkan kelembapan udara dalam ruangan yang tertutup, dan silica gel untuk menurunkan kelembapan udara dalam lemari atau filing cabinet.
(2)     Mencegah Kerusakan karena Pengaruh Cahaya
Cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan, baik langsung atau pantulan harus dihalangi dengan gorden atau disaring dengan filter untuk mengurangi radiasi ultra violet. Buku-buku tidak boleh diletakkan terlalu dekat dengan jendela.Untuk mencegah kerusakan karena cahaya lampu listrik adalah dengan memperkecil intensitas cahaya, memperpendek waktu pencahayaan dan menghilangkan radiasi ultra violet. Untuk menghilangkan radiasi UV  dari cahaya  luar, menggunakan UV filter film yang direkatkan pada kaca jendela dan pada lampu menggunakan UV filter tube yang disarungkan pada lampu TL. Untuk mencegah kerusakan oleh UV ini, Odgen (http://www.nedcc.org/, 29/03/04) memberikan rekomendasi agar kandungan UV pada ruang penyimpanan bahan pustaka tidak lebih dari 75  µwatt/lumen.
(3)     Mencegah Kerusakan Karena Pencemar Udara :
Bahan pencemar udara seperti gas-gas pencemar, partikel debu dan logam yang merusak kertas dapat dikurangi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a))     Ruangan menggunakan AC, karena dalam AC terdapat filter  untuk menyaring udara dan ruangan ber AC selalu tertutup sehingga mengurangi debu.
b))     Di dalam ruangan dipasang alat pembersih udara (air cleaner). Di dalam alat ini terdapat karbon aktif yang dapat menyerap gas pencemar dan terdapat filter untuk membersihkan udara dari debu.
c))      Menyimpan buku dalam kotak pelindung.

(4)   Mencegah Kerusakan Karena Faktor Biota
Tindakan preventif untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya jamur dan serangga adalah dengan memeriksa bahan perpustakaan secara berkala, membersihkan tempat penyimpanan, menurunkan kelembapan udara dan buku-buku tidak boleh disusun terlalu rapat pada rak karena menghalangi sirkulasi udara. Untuk mencegah menularnya jamur dan serangga dari luar, sebaiknya buku-buku yang baru dibeli atau baru diterima dari pihak lain difumigasi terlebih dahulu sebelum disimpan bersama-sama dengan buku yang lainnya. Pada rak diletakkan bahan-bahan yang berbau  untuk mengusir serangga seperti kapur barus, naftalen, paradichloro benzena atau PBC.
2) Pencegahan kerusakan karena faktor manusia
Manusia merupakan perusak bahan perpustakaan yang cukup besar.Pengaruh ini dapat bersifat tak langsung seperti pencemar udara atau mutu kertas yang rendah yang dihasilkan oleh industri kertas dan dapat bersifat langsung seperti kebakaran, pencurian dan salah penanganan. Kerusakan lain pada bahan perpustakaan adalah rendahnya standar mutu penjilidan. Penggunaan AC yang tidak kontinu malah akan mempercepat kerusakan bahan perpustakaan.
Pelaksanaan photocopy yang tidak benar juga akan merusak bahan perpustakaan. Teknik penanganan yang salah dapat menimbulkan kerusakan fisik. Sedangkan salah pengolahan seperti menyimpan bahan perpustakaan pada tempat yang mengandung risiko, tidak dibersihkan secara berkala akan menimbulkan kerusakan fisik karena kotor dan bahan perpustakaan yang kotor disukai oleh jamur dan serangga. Kerusakan yang fatal adalah karena lalai dalam persiapan menghadapi bencana alam.
a)        Penataan dan Penyimpanan :
Tempat penyimpanan yang tidak memadai dan tidak memenuhi syarat akan menyebabkan kerusakan fisik dan kimia pada bahan perpustakaan. Tempat penyimpanan harus terbuat dari bahan yang tidak membahayakan bahan pustaka. Rak-rak buku harus terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar, cukup lebar untuk menyangga buku tanpa ada bagian buku yang menonjol. Rak yang paling bawah sekurang-kurangnya harus berada 10 cm di atas lantai untuk menjaga kemungkinan terkena air jika ada pipa air yang bocor. Rak buku harus diletakkan pada ruangan dengan ventilasi yang baik dan jaraknya cukup supaya dapat mengambil dan mengembalikan buku dengan leluasa.
(1)   Penataan buku pada rak secara tegak:  Penyusunan buku pada rak-rak harus ditopang dengan kuat dan sebaiknya tidak terlalu rapat satu sama lain. Buku-buku hendaknya tidak disusun pada rak-rak secara longgar karena akan roboh dan menimpa satu sama lain. Penyusunan buku pada rak sebaiknya disesuaikan agar mencukupi ruang tempat menyimpan buku. Buku-buku hendaknya tidak disusun rapat karena akan menyulitkan pada waktu pengambilannya. Buku-buku hendaknya tidak ditumpuk di atas buku lainnya pada waktu menyusun di rak secara tegak. Jenis buku-buku yang tidak dapat diletakkan secara tegak, sebaiknya diletakkan secara horizontal di bagian tepi rak. Dengan cara ini akan menolong agar  buku tidak menjadi rusak dan akan tetap kuat  menempel. Metode penyusunan pada rak seperti ini hanya untuk sementara waktu. Agar jilidan buku tetap baik hendaknya tidak di susun sampai pada bagian ujung dari rak.
(2)   Penataan buku-buku secara mendatar:  Bahan perpustakaan yang disusun secara mendatar, seperti contohnya map-map tebal dan lembaran-lembaran ukuran besar, jangan disusun bertumpuk melebihi setengah dari tinggi tempat. Dapat juga dimasukkan ke dalam kotak yang kuat. Bahkan jika perlu apabila hendak mengangkatnya lakukanlah secara bersama-sama untuk menghindari  kerusakan. Rak-rak berupa laci yang dangkal dan dapat ditarik ke luar dapat digunakan untuk penyimpanan bahan perpustakaan.  Jenis rak ini akan menjamin pemanfaatan rak secara efisien dan juga dapat menghindari terjadinya masalah pada saat penyusunan dan pengambilan.
(3)   Menyimpan buku ukuran besar (lebar): Jangan meletakkan buku yang terlalu lebar dengan posisi vertikal pada rak buku biasa. Dan tidak mungkin menyediakan rak khusus untuk meletakkan buku-buku yang terlalu lebar di ruang pengolahan. Buku-buku seperti ini harus diletakkan mendatar (direbahkan) di atas meja. Pada saat mengambil salah satu diantaranya, buku-buku yang ada di atasnya harus dipindahkan dulu satu persatu, kemudian setelah buku yang dimaksud diambil, buku-buku yang dipindahkan tadi dikembalikan seperti susunan semula.
b)       Penjilidan
Penjilidan yang kurang baik sering diterapkan pada buku-buku perpustakaan tanpa mempertimbangkan keselamatan informasi yang ada di dalamnya. Pustakawan harus turut memikirkan apa yang dibutuhkan oleh buku dari jilidannya dan harus tahu tipe jilidan yang baik bagi bahan pustaka. Memotong bagian pinggir buku atau punggung buku tidak boleh dilakukan. Jilidan asli sedapat mungkin harus dipertahankan.Semua bahan yang digunakan harus bebas asam, kuat dan stabil dan buku dengan kertas yang sudah rapuh tidak boleh dijilid kembali.
c)        Kebersihan
Membersihkan ruangan dan bahan perpustakaan secara teratur merupakan pekerjaan yang penting.  Staf harus diberi informasi bagaimana cara membersihkan bahan pustaka dengan benar, karena kadang-kadang staf tidak mengetahui caranya. Monitor terhadap program pembersihan sama pentingnya dengan pembersihan itu sendiri. Pemeriksaan secara berkala pada koleksi dan fasilitas penyimpanan dapat mengetahui lebih awal kerusakan baik disebabkan oleh serangga maupun oleh kelembapan udara. Kebersihan tangan staf dan pengguna jasa perpustakaan juga sangat penting.Tangan dan tempat kerja harus bersih untuk menjaga agar buku tidak cepat dekil.
d)       Penanganan
Cara penanganan bahan perpustakaan tidak dapat dilakukan dengan baik oleh setiap orang, akan tetapi harus diajarkan, dibimbing dan dibiasakan. Sikap staf adalah kunci dalam menerapkan penanganan bahan perpustakaan yang baik dan benar.Yang lebih penting adalah sikap pengambil kebijakan yang mempunyai komitmen bahwa pelestarian adalah bagian integral dari misi perpustakaan.
Penanganan bahan perpustakaan yang baik dan benar adalah program pelestarian yang murah.Melatih staf dan pengguna jasa perpustakaan adalah pekerjaan yang relatif mudah. Hal ini juga akan menghemat dana untuk memperbaiki dan merawat koleksi yang rusak.
(1)     Sampul/kulit (Cover) buku adalah untuk melindungi blok (teks) buku dari kerusakan fisik. Buku baru atau buku yang dijilid kembali harus dibuka secara hati-hati. Buku tidak boleh dibiarkan tertelungkup, dan jilidan tidak boleh ditekan. Tidak boleh menggunakan karet gelang untuk mengikat buku dan tidak boleh menggunakan selotape untuk menambal buku yang robek.
(2)     Reproduksi : Kegiatan reproduksi seperti reprografi, fotografi,photocopy dan digitalisasi merupakan usaha pelestarian informasi bahan perpustakaan,namun pelaksanaan yang kurang hati-hati akan dapat menimbulkan kerusakan fisik bahan perpustakaan, seperti jilidan buku menjadi rusak dan bahan pustaka yang rapuh menjadi hancur.
e) Pencurian dan Vandalisme :Yang tidak kalah pentingnya dari program pelestarian bahan perpustakaan adalah keamanan dari pencurian dan pengrusakan. Prosedur pengamanan dapat dilakukan dengan cara pengawasan dalam ruang baca, pemeriksaan tas, pemasangan detektor pada pintu ruang baca dan lain-lain.
f) Tindakan lain dalam pemeliharaan bahan perpustakaan adalah dengan meng-implementasikan kebijakan pelestarian yang mencakup pelatihan, membangun kesadaran pelestarian bahan pustaka dan adanya staf yang profesional yang menangani pelestarian, pembentukan tim kesiapan menghadapi bencana serta mengadakan pelatihan untuk mengadakan respons terhadap kemungkinan adanya bencana.

b. Perawatan dan Perbaikan Bahan Perpustakaan
Kerusakan bahan perpustakaan adalah suatu fenomena kompleks yang timbul dari berbagai pengaruh yang menyebabkannya. Pada umumnya kerusakan ini dapat berupa: kertas keriput, rapuh, lengket, robek, hilang sebagian, keasaman, adanya noda, adanya jamur, diserang serangga, warna tinta memudar, warna kertas menjadi kuning kecokelatan, dan lain-lainnya.
Pemulihan bentuk dan kekuatan kertas bahan perpustakaan dilakukan sebagai upaya perbaikan yang disesuaikan dengan bentuk kerusakan yang terjadi. Jenis perbaikan kertas bahan perpustakaan tersebut meliputi menambal, menyambung, lining dan laminasi. Sebelum perbaikan dilakukan, hendaknya bahan perpustakaan telah mengalami penanganan diantaranya fumigasi, pembersihan debu dan noda, pemutihan  (bleaching) dan deasidifikasi (untuk menetralkan asam).


1)    Membersihkan debu
Salah satu cara pemeliharaan bahan perpustakaan yang penting adalah  menyimpan di tempat yang bersih dan bebas dari debu. Apabila bahan perpustakaan sudah kotor oleh debu, hendaknya dibersihkan sesuai dengan prosedur yang benar dan dilakukan secara teratur oleh staf yang terlatih agar tidak menimbulkan kerusakan pada bahan perpustakaan.
Memelihara bahan perpustakaan dalam kondisi yang bersih akan memberikan dampak yang luas, yaitu bahan perpustakaan tidak mudah rusak, staf dan pengguna jasa akan senang mengolah dan membaca, serta kesehatan mereka tidak terganggu karena pengaruh debu dan asam.
Kerusakan bahan perpustakaan yang akan terjadi karena pengaruh debu diantaranya adalah sebagai berikut :
a)        Mengurangi nilai estetika, karena debu akan memperburuk dan mengaburkan informasi pada cetakan, foto dan mikrofilm/mikrofis.
b)        Partikel debu akan menimbulkan goresan pada microfilm/ mikrofis, negatif foto, lukisan dan dokumen berharga lainnya.
c)        Kertas yang kotor oleh debu akan cenderung menimbulkan noda jika kertas tersebut terkena air dan udara lembap.
d)        Debu akan menyebabkan kertas menjadi asam, karena debu biasanya bercampur dengan pencemar udara lainnya terutama yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar minyak bumi. Asam ini akan menyebabkan kertas menjadi rapuh dan akan merusak lapisan emulsi pada negatif foto dan microfilm/mikrofis.
Ada dua cara membersihkan bahan perpustakaan, yaitu cara basah dan  cara kering. Cara basah tidak akan dijelaskan dalam buku ini, karena pekerjaan ini harus dilakukan oleh staf yang telah mendapat pendidikan dan pelatihan dalam bidang konservasi.
Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk membersihkan debu pada bahan perpustakaan. Cara yang dipilih harus mempertimbangkan kondisi bahan perpustakaan, antara lain: kekuatan kertas, ketebalan kertas, kerapian sisi blok buku (terutama sisi kepala buku) atau ketebalan debu yang menempel pada bahan perpustakaan.
Peralatan yang diperlukan dalam membersihkan debu adalah : kuas, vacuumcleaner, karet penghapus, bubuk penghapus, hand press, masker debu, penutup kepala dan lain-lain.
2) Pembasmian serangga dan jamur
Ada beberapa metode pembasmian, yaitu:
a)        Dengan suntikan (injeksi): cara ini bersifat pencegahan agar serangga, terutama rayap tidak menyerang bahan pustaka dan fasilitas perpustakaan. Kusen pintu dan jendela dan lantai bangunan harus disterilkan dari rayap dengan jalan menyuntikkan bahan beracun pembasmi serangga untuk mencegah dan mematikan rayap.
b)        Dengan Penyemprotan: Untuk mencegah agar bahan perpustakaan tidak diserang oleh serangga dan jamur, maka ruangan dalam perpustakaan harus disterilkan dengan menyemprotkan larutan pembasmi serangga dan jamur pada sudut-sudut ruangan dan rak-rak buku. Jika pada bahan perpustakaan sudah terlanjur diserang oleh rayap, maka bahan pustaka tersebut harus disemprotkan dengan bahan pembasmi rayap yang dilarutkan dalam alkohol.
c)        Fumigasi: Fumigasi bahan perpustakaan adalah mengasapkan gas beracun pada bahan perpustakaan untuk membasmi serangga dan jamur. Bahan yang digunakan disebut fumigant, yang terdiri dari: methyl bromide, thymol cristel, formaldehyde (formalin), carbon tetra chloride, carbon disulfide, phosphine. Thymol crystal dan formalin adalah bahan untuk membasmi jamur, sedangkan yang lainnya untuk membasmi serangga.
3) Menghilangkan Selotape
Selotape yang digunakan sebagai perekat pada kertas atau buku harus dihilangkan karena bahan perekat pada selotape ini bersifat asam. Biasanya warna kertas akan berubah  menjadi kuning kecokelatan pada daerah yang ditempelkan dengan selotape ini. Plastik pada selotape dapat dilepas dengan pelarut organik atau taking iron.
4)    Enkapsulasi                                           
Enkapsulasi adalah cara memperkuat kertas/dokumen untuk menghindarkan kerusakan fisik Pada proses enkapsulasi inisetiap lembar kertas/dokumen dilapisi/diapit dengan dua lembar plastik film polyester yang pada bagian pinggir plastik dilekatkan dengan double sided tape.




5)    Menambal/Menyambung
Menambal adalah menutup bagian bahan pustaka yang berlubang dengan japanese tissue paper, bubur kertas atau kertas tissue berperekat. Bahan perekat yang umum digunakan adalah campuran kanji dan methyl cellulose.Menambal dilakukan untuk merekatkan bagian yang robek atau patah karena lipatan dengan kertas tissue dengan perekat seperti tersebut di atas.
Menyambung dilakukan untuk merekatkan bagian yang sobek atau patah karena lipatan, biasanya diperkuat dengan potongan kertas dari jenis tertentu, agar bagian yang sobek tidak bertambah lebar. Menyambung juga dapat dilakukan dengan kertas Jepang, hand made, bubur kertas dengan perekat kanji dan CMC. Proses menyambung dilakukan hampir sama dengan proses menambal.
6) Memperkuat kertas
Beberapa metode dapat dipertimbangkan untuk memperkuat kertas rapuh, rusak dan kertas yang rusak terkena udara lembap atau air dimana tidak ada local treatment atau metode penguat serat seperti  sizing yang memuaskan. Keputusan apakah memperkuat kertas dengan restorasi dalam kasus ini bergantung dari beberapa faktor; Pertama: koleksi itu sendiri :
1)        Jenis koleksi itu sendiri, naskah, karya cetak atau ilustrasi.
2)        Kertas tersebut ditulis, dicetak atau digambar pada satu muka atau bolak balik.
3)        Fungsi dari koleksi tersebut, sumber informasi atau benda seni.
Teknik memperkuat kertas dapat dibedakan menjadi lima metode, yaitu : lining, embedding, laminasi, leafcasting, paper splitting.
7) Memperbaiki jilidan
Memperbaiki jilidan bahan pustaka merupakan salah satu upaya melestarikan bentuk fisik agar dapat memperpanjang usia pakai bahan pustaka tersebut. Pada umumnya tindakan perbaikan jilidan selalu ada hubungannya dengan kerusakan pada jilidan buku, baik yang berhubungan dengan kekuatan sistem penjilidan maupun kerusakan-kerusakan pada bagian tertentu seperti lembar pelindung, engsel buku, punggung buku dan sampul buku. Perbaikan yang dapat dilakukan secara sederhana adalah dengan memperkuat engsel yang longgar, mengganti lembar pelindung yang robek atau sudah berubah warna menjadi kuning kecokelatan, menempel linen baru pada punggung buku atau memperbaiki kembali punggung sampul buku.
c. Pelestarian Kandungan Informasi.
Alih media bahan pustaka merupakan salah satu dari strategi perpustakaan dalam melestarikan koleksinya, terutama koleksi khusus seperti naskah, surat kabar, peta dan buku langka. Koleksi bahan pustaka dalam bentuk teks atau gambar dapat dialih mediakan menjadi 4 bentuk, yaitu: 1). Alih media ke dalam bentuk mikro; 2). Transformasi digital; 3). Fotografi dan 4). Foto kopi.
Alih media ke bentuk mikro dan transformasi digital merupakan strategi yang banyak dipilih oleh perpustakaan, arsip maupun museum di seluruh dunia, karena keduanya memberikan sejumlah pendekatan alternatif untuk keperluan yang berbeda, atara lain sebagai contoh: bentuk mikro dapat memberikan berbagai format dalam bentuk hitam putih atau berwarna, sedangkan transformasi digital selain memberikan hitam putih dan berwarna juga dengan resolusi rendah, sedang atau tinggi dapat diakses secara online.
1)        Alih media Bahan Perpustakaan Konvensional ke Bentuk Digital
Kunci keberhasilan dari upaya alih media digital adalah dilakukan secara berkelanjutan  dengan memahami beberapa  konsep berikut, yaitu:
(a)      Melindungi Sumber Asli. Hal yang umum dalam penerapan teknologi digital dalam perpustakaan adalah membuat salinan digital yang dapat digunakan sebagai pengganti sumber aslinya. Tujuan dari pelestarian ini karena adanya keterbatasan terhadap akses terhadap sumber aslinya. Sebagai contoh file  digital koleksi gambar dan foto disediakan untuk kebutuhan penelitian dapat dilakukan tanpa harus mengakses sumber gambar aslinya. Sehingga peminjaman sumber asli dokumen, buku atau gambar dapat dihentikan untuk menghindari kerusakan atau kehilangan.
(b)     Mewakili Sumber AsliProduk digital haruslah dibuat untuk dapat mewakili dari informasi dari sumber aslinya sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian misalnya. Sistem yang dibuat dengan resolusi yang tinggi memungkinkan untuk menyediakan informasi sama persis dengan sumber aslinya tanpa adanya risiko kerusakan atau kehilangan.
(c)      Melebihi Sumber AsliDengan adanya teknologi digital akan memudahkan kebutuhan setiap pemustaka terhadap informasi secara lebih detail. Dimana melalui sumber aslinya tidak mungkin untuk dilakukan. Contohnya, melalui paduan teknologi pencahayaan resolusi tinggi dapat lebih menggambarkan secara detail mengenai usia, penggunaan dan kerusakan fisik terhadap benda (artifact)  aslinya. Juga untuk produk digital yang dapat dikombinasikan dengan fungsi sistem rekayasa dan disebarluaskan secara luas melalui mesin pencari (search engine) akan memiliki nilai kegunaan lebih bagi setiap penggunanya sebagai bahan materi penelitian ilmiah atau untuk kebutuhan lainnya.

(d)     Kemampuan Teknologi Yang Digunakan. Kunci keberhasilan lainnya untuk mempermudah proses alih media digital adalah dengan mengukur kemampuan alat atau teknologi yang digunakan, termasuk perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang berhubungan dengan dokumen atau hasil produk yang dimaksud. Terdapat cukup banyak pilihan cara dalam menerapkan teknologi alih media, hal ini tergantung dari besarnya biaya dan kemampuan yang dapat dilakukan oleh sistem atau perangkat tersebut. Walau demikian terdapat keterbatasan kemampuan untuk melakukan proses alih media tergantung dari format ukuran sumber materi dan nilai resolusi yang tersedia. Dari ketiga hubungan yang disebutkan antara kebutuhan produk yang dihasilkan, karakteristik sumber asli dan kemampuan teknologi  hal ini akan mempengaruhi terhadap nilai kualitas, biaya dan bagaimana cara untuk mengaksesnya.

2) Prinsip dasar proses alih media adalah  memperpanjang usia pakai atau kegunaan dari sumber informasi yang tersedia. Terdapat beberapa istilah dari perubahan prinsip-prinsip dasar yang dimaksud yaitu preservasi alih media memiliki kelebihan berusia panjang (longevity), seleksi (choice), kualitas (quality), keutuhan (integrity), dan mudah diakses (accessibility)

(a)     Berusia Panjang (longevity).
Perhatian utama dari upaya  pelestarian bahan perpustakaan adalah melakukan pemeliharaan, perawatan dan perbaikan terhadap media tempat informasi tersebut disimpan. Bagaimana media seperti kertas, film dan pita magnetic dapat lebih tahan lama dengan cara menstabilkan struktur media dan menghindari hal-hal yang mempengaruhi kerusakan dari pihak dalam maupun luar.
Upaya pelestarian dalam ruang lingkup digital difokuskan kepada bagaimana mempertahankan usia pemakaian dari media cakram (disk) atau media penyimpanan data yang cukup rentan secara fisik. Kelangsungan hidup dari file digital yang tersimpan tergantung pada seberapa jauh kemampuan akses sistem yang tersedia. Sehingga para pengembang produk digital harus bisa mengantisipasi setiap file, indeks data dan software untuk disimpan dalam media yang lebih profesional dengan dukungan teknologi terkini sehingga lebih menjamin kelangsungan usia penyimpanannya.
(b)     Seleksi (Choice).
 Seleksi dalam ruang lingkup digital bukan merupakan pilihan untuk membuat satu kali produk dan diperuntukan untuk semua hingga mendekati masa pemakaian akhir, namun lebih ke arah proses yang berkesinambungan yang terhubung dengan baik sekali dengan aktivitas penggunaan file digital yang dimaksud.
Pemberian nilai diperoleh ketika membuat keputusan untuk melakukan proses alih media dokumen seperti kertas atau film ke dalam bentuk digital yang dapat dijalankan melalui sistem yang benar-benar sesuai (valid).
Namun ketika keputusan pemberian nilai tidak dapat dilakukan secara otomatis atau pada saat terjadi kevakuman, para pustakawan dan arsiparis dapat menentukan sendiri yang mana buku, artikel, foto, film atau sumber materi lainnya yang akan dialihmediakan ke dalam format digital.
(c)      Kualitas (Quality).
Memaksimalkan kualitas perlu diterapkan pada setiap aktivitas proses preservasi dan secara tidak langsung menjadi prinsip dasar setiap orang yang akan melakukannya. Dalam proses preservasi secara analog telah lazim dilakukan dalam memperhatikan kualitas dalam setiap aktivitas seperti penerapan aturan standar penjilidan bahan pustaka, petunjuk pembuatan arsip mikrofilm, prosedur pengawetan bahan pustaka, pemilihan bahan dan material yang baik, dan menghindari seminim mungkin kesalahan teknis yang dilakukan.
Dalam ruang lingkup digital upaya memaksimalkan kualitas secara signifikan dibatasi oleh teknologi untuk pengambilan (capture) dan menampilkan (display) gambar pada media elektronik yang digunakan. Proses alih media digital yang dilakukan dengan memperhatikan kualitas yang baik adalah mampu memberikan tampilan yang tidak beda jauh dengan sumber aslinya dengan sentuhan teknologi yang digunakan.
Pada intinya tujuan dari menentukan kualitas pada proses preservasi digital adalah bagaimana melakukan pengambilan visual dengan teknik tertentu  dari seluruh isi materi dan dapat memberikan hasilnya dengan baik kepada banyak pengguna yang benar-benar membutuhkannya. 
Kata kuncinya setiap pengembang produk digital, dalam hal ini para pustakawan dan arsiparis, harus dapat menjadikan nilai kualitas sebagai jantung dan jiwa dalam melakukan upaya proses preservasi. Namun di sisi yang lain kehandalan  perangkat pendukung berupa hardware dan software dari industri produk yang digunakan juga sangat menentukan.
(d)     Keutuhan (Integrity),
Makna dari keutuhan dalam melakukan proses preservasi secara tradisional terdiri dari dua konteks yaitu kondisi fisik dan nilai intelektual yang dimiliki. Keduanya saling berhubungan menyangkut terhadap isi (content) dari sumber dokumen yang dimaksud.  Keutuhan secara kondisi fisik secara umum menyangkut terhadap perlakuan benda, yang dilakukan oleh staf di studio kerja seperti keahlian melakukan penjilidan, merekatkan lem,  menggunakan bahan yang berkualitas untuk melindungi sumber materi, dan teknik perawatan lainnya.
Sedangkan makna keutuhan dari nilai intelektual adalah berhubungan dengan kebenaran dan keaslian terhadap isi sumber dokumen tersebut. Dalam ruang lingkup digital arti keutuhan kondisi fisik berhubungan dengan media penyimpanan file digital yang telah terkompresi secara matematis dan tersimpan dengan berbagai variasi format serta mampu dikirim melalui jaringan komputer yang ada. Sedangkan arti dari keutuhan nilai intelektual mencakup kepada struktur indeks dan deskripsi data yang dapat dipublikasikan sebagai daftar isi atau sebagai subjek pencarian kata kunci, atau rekaman bibliografis yang berhubungan dengan file digital yang dimaksud.
(e)      Dapat diakses (Accessibility).
Dalam ruang lingkup digital saat ini upaya preservasi dan cara mengakses hasilnya merupakan suatu paduan yang tidak bisa dipisahkan. Hasil dari proses preservasi merupakan sesuatu yang bernilai tinggi, diproteksi dengan baik melalui sistem dan terintegrasi sepenuhnya menjadi sebuah produk digital yang berdiri sendiri yang dihasilkan dari sumber dokumen aslinya. 
Perangkat keras dan lunak yang digunakan untuk mengakses produk digital yang dihasilkan sudah beragam dan mudah untuk diperoleh. Bahkan beberapa vendor mencoba membuat fasilitas sistem yang sesuai dengan kebutuhan para pustakawan dan arsiparis secara khusus, yang pada akhirnya dapat memudahkan bagi penggunanya untuk mengakses secara elektronik tanpa batasan ruang dan waktu.
3)        Hak Cipta (copyright)
Hak kekayaan intelektual (HAKI) yang salah satunya terdiri dari perlindungan hak cipta (copyright) merupakan suatu aturan yang diatur oleh undang-undang negara dalam melindungi siapa saja secara hukum atas hasil karya atau produk yang dipublikasikan secara luas di lingkungan masyarakat.
Dalam hubungannya dengan proses alih media digital adalah bagaimana setiap lembaga atau institusi memastikan terlebih dahulu status dari kepemilikan atau hak cipta dari sumber materi yang akan dialihmediakan. Bila kenyataannya lembaga tersebut bukan pemilik dari hak cipta sumber materi yang akan dialihmediakan maka terdapat dua opsi yang bisa dilakukan;
(a)     Membatalkan rencana untuk melakukan proses alih media,
(b)     Meminta ijin secara formal kepada pemilik hak cipta yang bersangkutan, dan bila diijinkan dapat dilakukan proses alih media dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Namun bila batas durasi waktu perlindungan hak cipta sudah habis maka secara otomatis sumber materi atau hasil karya tersebut menjadi hak milik masyarakat (public domain) sehingga siapa pun dapat dengan bebas untuk melakukan proses alihmedia dan dipublikasikan kembali.
4)        Tujuan Alih Media digital Bahan Perpustakaan
Dengan adanya Alih media ke bentuk digital  koleksi bahan perpustakaan akan:
(a)     Memungkinkan pemustaka dengan mengabaikan tempat untuk mengakses secaralangsung informasi yang berhubungan dengan Indonesia melalui koleksi digital.
(b)     Mempromosikan informasi yang berhubungan dengan Indonesia kepada siapasaja yang bisa mengakses koleksi Perpustakaan Nasional RI dari luar negeri.
(c)      Membangun kerjasama dengan lembaga-Iembaga lain untuk memperkaya koleksidigital, terutama informasi digital mengenai Indonesia.
(d)     Meningkatkan akses dan membantu melestarikan koleksi langka dan yang mudah rusak dengan menyediakan informasi digital.
5)        Koleksi Bahan Perpustakaan Yang Akan dialih Mediakan ke Bentuk Digital
Koleksi akan dipilih untuk digitalisasi didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Perpustakaan Nasional bermaksud akan melaksanakan alih media ke bentuk digital koleksinya, termasuk suara dan gambar dan teks sehingga koleksi bahan perpustakaan dapat menjangkau para pemustaka secara luas.
Kegiatan alih media ke bentuk digital di Perpustakaan Nasional RI akan dilaksanakan disesuaikan dengan UU Hak Cipta.  Bila memungkinkan izin pelaksanaan alih media ke bentuk digital akan dirundingkan bila bahan tersebut sangat dibutuhkan. Kegiatan alih media ke bentuk digital koleksi bahan perpustakaan difokuskan pada bahan yang bebas larangan hak cipta, seperti manuskrip, koran lama, buku langka dan lain-lain
Pusat Preservasi Bahan Pustaka dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan alih media ke bentuk digitalkoleksi bahan perpustakaan berbentuk foto dan pamflet dan lain-lain. Kegiatan-kegiatanyang bersifat tematis melibatkan pustakawan yang berada di Perpustakaan Nasional RI, karena kegiatan yang bersifat tematis ini pasti melibatkan sejumlah pustakawan untuk mencari informasi dari bahan-bahan yang terkait dalam koleksi dan menuntut suatu keterkaitan sumber daya yang lebih besar untuk mendapatkan koleksi digital yang lengkap.
Kriteria Seleksi Koleksi yang Akan Digitalkan
Perencanaan kegiatan alihmedia ke bentuk digital  koleksi bahan perpustakaan menggunakan kriteria untuk memenuhi prinsip-prinsip yang digariskan di atas sebagai berikut:
a)    Kegiatan alih media ke bentuk digital akan meningkatkan akses terhadap koleksi, meliputi:
(1)     Koleksi bersejarah atau informasi intelektual yang merupakan koleksi bendabudaya Nasional, termasuk koleksi dengan permintaan yang tinggi atau sedang.
(2)     Koleksi yang tidak dilayankan berhubungan dengan pertimbangan pengawetan atau keamanan.
(3)     Koleksi yang relatif tidak dikenal atau tidak pernah diakses, dengan alih media ke bentuk digital diharapkan dapat meningkatkan permintaan dan minat akan koleksi tersebut.
(4)     Kegiatan alih media digital koleksi bahan perpustakaan merupakan pengembangan pada Pusat Preservasi Bahan Pustaka. Hal ini dapat disadari bahwa Pusat Preservasi tidakakan mampu kebutuhan akan pelestarian bahan pustaka asli, digitalisasi akan membantu tujuan-tujuan pelestarian dengan mengurangi akses pada bahan perpustakaan asli yang mengandung risiko kerusakan.
(5)     Kegiatan alihmedia digital koleksi bahan perpustakaan akan meningkatkan daya guna koleksi. Hal ini disebabkan karena:
(a)           Koleksi dalam bentuk digital akan lebih mudah untuk dikendalikan dan ditangani jika dibandingkan dengan bahan asli.
(b)          Koleksi dalam bentuk digital dapat diakses dengan berbagai cara.
6)        Akses Kepada Koleksi Digital
Perpustakaan akan menggunakan pendekatan yang yang baru untuk menjamin akan tingkatan-tingkatan akses yang seluas mungkin terhadap koleksi digital yang tersedia. Koleksi digital akan disusun dengan cara yang mudah bagi para pemustaka untukmengakses dan mengendalikan. Koleksi akan dihubungkan dengan rekamankatalog, pangkalan data bibliografi nasional atau bantuan temuan lain sehingga tepat fasilitas temu balik dalam  pencarian koleksi bagi pemustaka ditelusur  menurut jenis bahan akan disediakan.
Alat penelusuran yang sederhana dan yang modern akan disediakan untuk para pemustaka untuk mendapatkan informasi yang mudah dimengerti dan para peneliti yang maju yang barangkali membutuhkan fasilitas penelusuran yang canggih.
Agar memperoleh keuntungan yang paling tinggi dari prakarsa alih media digital, perpustakaan akan meluncurkan pengindeksan, kiriman koleksi digital metadata yang dikeluarkan pada permulaan proses perencanaan alih media digital koleksi.
7)        Standar Koleksi Digital
Perpustakaan bertanggung jawab untuk mempertahankan ukuran/standar yang sesuai dengan pengelolaan bahan informasi akses bagi pemustaka dan preservasi jangka panjang dari koleksi digital tergantung pada ukuran/standar yang cocok. Oleh sebab itu perpustakaan akan taat pada standar yang mapan dan diterima secara internasional. Bilamana standar yang sesuai tidak ada, perpustakaan akan melakukan identifikasi dan mengadopsi praktik-praktik internasional yang terbaik. Dalam kasus dimana prioritas bisnis menuntutnya perpustakaan juga akan menetapkan praktik yang terbaik dan menyumbangkannya bagi pengembangan standar metadata preservasi dan alat pengenal yang tetap. Prioritas membimbing kegiatan pengembangan standar perpustakaan agar sesuai dengan semua yang digariskan dalam rencana kerja kelompok kegiatan standar perpustakaan.
Koleksi yang akan dialihmediakan ke bentuk digital diputuskan sesuai dengan seleksi bahan tersebut dan jenis penggunaannya dibuat semenarik mungkin. Teknologi yang akan digunakan yang memberikan tingkat yang paling tinggi dan akses yang mutakhir dan fleksibilitas di masa depan untuk memanfaatkan teknologi yang ada.
8)        Pengaturan Alur Kerja (workflow)
Tahap ketiga (setelah menentukan tujuan dan perencanaan proyek) merupakan tahap akhir dari proses manajemen proyek adalah melakukan impelementasi. Pada tahap ini mulai dilakukan eksekusi teknis terhadap proses alih media digital.
Beberapa aktivitas yang lazim dilakukan pada saat implementasi adalah sebagai berikut :
a)        Mengumpulkan dan menyeleksi sumber materi bahan pustaka yang akan dilakukan proses alih media digital. Untuk memeroleh sumber materi bahan pustaka bisa diperoleh dari pihak internal dan eksternal institusi :
b)        Melakukan klarifikasi hak cipta (copyright) dan kepemilikan dari sumber materi bahan pustaka yang akan diproses. Bila sudah merupakan public domain atau kepemilikan dari institusi sendiri maka tidak perlu lagi dilakukan proses perijinan tertulis terhadap penulis/pengarang atau penerbit yang bersangkutan. Seperti halnya yang dilakukan oleh transformasi digital perpustakaan nasional RI, terdapat jenis koleksi naskah kuno (manuscript), buku langka, dan foto bersejarah.
c)        Memeriksa kondisi fisik dari sumber bahan perpustakaan. Apabila terdapat kerusakan atau akan berdampak buruk bagi sumber materi apabila dilakukan proses alih media, misalnya bila naskah tersebut dilakukan scanning maka kondisi kertas aslinya akan seperti terbakar karena pengaruh dari radiasi cahaya yang ditimbulkan. Agar tidak terjadi demikian perlu diberikan tambahan kertas khusus yang memiliki tingkat keasaman yang sesuai dengan cara ditempelkan pada naskah yang bersangkutan. Atau pengaruh kerusakan fisik lainnya yang harus dilakukan proses perbaikan. Dalam melakukan proses konservasi ini bisa dilakukan bekerja sama dengan divisi khusus yang menangani hal ini.

d)       Setiap sumber koleksi yang sudah terkumpul dilakukan pencatatan data bibliografi agar mengetahui secara pasti jumlah dan statusnya.

e)        Melakukan proses alih media, seperti scanning terhadap lembaran naskah dan foto dalam bentuk tercetak atau dari sumber slide dan microfilm. Untuk sumber bahan pustaka dalam bentuk tiga dimensi dilakukan pemotretan dengan menggunakan kamera digital. Begitu pula bahan pustaka rekaman audio dan video dilakukan dengan menggunakan peralatan dan aplikasi yang mendukung. Mengenai ketentuan standar teknis dan perangkat apa yang diperlukan akan dibahas pada bab selanjutnya.
f)         Dari hasil proses alih media atau scanning diperoleh hasil file digital dengan resolusi cukup tinggi sehingga dimanfaatkan sebagai file master.Selanjutnya untuk keperluan editing dan publikasi dilakukan proses konversi kedalam jenis file yang sesuai, misalnya dari bentuk file master yang berformat TIFF atau RAW disalin menjadi format JPEG atau GIF. Begitu pula untuk format WAV pada audio menjadi MP3, dan format AVI pada video menjadi MPEG atau WMV. Mengenai aturan format standar konversi file  akan dibahas pada bab selanjutnya.
g)        Melakukan proses pengeditan file digital berupa gambar, audio dan video untuk keperluan pengemasan dan publikasi. Pengeditan dilakukan dengan bantuan aplikasi khusus seperti Adobe Photoshop dan Macromedia. Dalam proses pengeditan ini biasanya dilakukan penyesuaian ukuran (resizing), menyesuaikan kepekatan warna dan kekontrasan (color depth & contrast), membersihkan area tertentu bila terdapat noda kotoran atau pengaruh lainnya dari hasil proses alih media.  
h)        Pemberian watermark perlu dilakukan pada setiap image yang dihasilkan dengan menambahkan logo dengan tingkat transparansi tertentu. Beberapa kriteria yang dilakukan dalam proses pemberian watermark adalah sebagai berikut :
(1)     Kekuatan gambar (robustness). artinya logo yang digunakan sebagai watermark tidak mudah dihapus atau dimanipulasi tanpa mengubah secara ekstrim dari file dokumen atau gambar yang dimaksud.
(2)     Tidak kelihatan (imperceptible). Artinya gambar watermark yang digunakan tidak perlu kelihatan wujudnya sehingga tidak mempengaruhi tampilan atau estetika dari sumber dokumen aslinya. Saat ini ada beberapa teknik yang bisa diterapkan misalnya dengan menggunakan teknologi holografi atau hologram.
(3)     Keamanan (security). Artinya setiap orang yang tidak memiliki wewenang tidak akan tahu dan tidak bisa mengubah terhadap dokumen yang diberikan watermark. Pemberian watermark atau digital sign dimaksudkan adanya keaslian sumber dokumen atau dapat dipercaya. Yang menjadi parameter tersebut  tergantung pada keahlian (skill), keaslian (authentic) dan keutuhan (integrity).
i)          Melakukan kompilasi file dari setiap judul yang terdiri dari beberapa halaman naskah atau dokumen yang telah dilakukan pengeditan dan pemberian watermark. Format kompilasi yang dilakukan bisa beragam tergantung dari kebutuhan, misalnya dalam format PDF untuk dokumen teks dan gambar atau format MPEG atau FLV untuk audio dan video.
j)          Melakukan proses input metadata dan upload file digital melalui perpustakaan digital atau sistem manajemen data digital. Hal ini diperlukan untuk merekam setiap koleksi file digital yang telah dihasilkan. Melalui sistem ini dimaksudkan untuk dapat melakukan manajemen file digital sehingga akan diketahui secara pasti setiap perkembangan hasil pekerjaan alih media dengan dilengkapi fungsi indeks dan search engine (mesin pencari) sebagai alat penelusuran atau temu kembali koleksi dokumen yang dimaksud.
k)        Melakukan proses pengemasan dan publikasi terhadap file digital yang dihasilkan ke dalam media yang dapat diakses secara mudah oleh para penggunanya. Bentuk pengemasan yang lazim dilakukan adalah menggunakan media cakram (disk) seperti CD/DVD ROM yang dapat diakses secara stand-alone oleh penggunanya. Untuk akses yang tidak terbatas dilakukan publikasi melalui jaringan web (internet) secara online dengan rancangan tampilan halaman web dan animasi multimedia yang disesuaikan dengan kebutuhan.
2)        Alih Media Bahan Perpustakaan Konvensional ke Bentuk Mikro
Tujuan utama pembuatan bentuk mikro di perpustakaan adalah untuk pelestarian dan memperlancar kegiatan layanan. Karena alasan tersebut, maka dibuat bentuk mikro dalam 3 generasi, yaitu: kamera negatif (master negatif), duplikat master negatif dan bentuk mikro positif (positive use copy). Master negatif dapat dipakai untuk memproduksi duplikat master negatif untuk keperluan perpustakaan lain dan membuat reproduksi bentuk mikro untuk keperluan layanan. Bentuk mikro positif dipakai untuk keperluan layanan sehingga manuskrip yang kondisinya sudah rapuh tidak diperkenankan untuk dipinjam (dibaca) kecuali untuk penelitian filologi. Master negatif harus disimpan terpisah dari dari bentuk mikro hasil regenerasi dengan kondisi lingkungan yang konstan.
Pelestarian bentuk mikro dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:
(a)     Sebagai pengganti koleksi yang sudah rapuh atau diserang serangga yang kandungan informasinya merupakan pertimbangan utama.
(b)     Sebagai perlindungan bagi koleksi yang asli untuk mencegah kerusakan karena digunakan.
(c)      Memperhitungkan kebutuhan pengguna, baik sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
(d)     Copy dari bentuk mikro hasil pembelian atau hibah tidak sesuai dengan standar
(e)     Mengganti bentuk mikro yang rusak.
(f)       Sebagai pengaman bagi koleksi yang harga dan kegunaannya bernilai tinggi.
Dana yang dipakai investasi di dalam pembuatan bentuk mikro dapat dipertanggung jawabkan untuk menjaminnya, satu kali bahan pustaka dibuatkan bentuk mikronya, master negative disimpan di dalam ruang penyimpanan yang memenuhi standar dan kopinya akan dilayankan kepada pengguna dan bahan aslinya disimpan.
(a)      Tipe dan Komposisi Bentuk Mikro
Jenis media bentuk mikro berkembang dari jenis film selulose nitrat, selulose asetat sampai kepada polyester. Film selulose nitrat sangat mudah terbakar, setiap saat mengeluarkan gas yang sangat berbahaya dan mengakibatkan terjadinya dekomposisi pada media ini. Karena kekuarangan ini maka sejak tahun 1950-an produksi selulose nitrat ini dihentikan sarna sekali. Film selulose asetat lebih aman dan tidak mudah terbakar, tapi tetap mengalami kerusakan setiap waktu karena mengeluarkan gas asam cuka (vinegar syndrome).Karena mengeluarkan gas ini, menyebabkan bentuk mikro menjadi rusak. Proses kerusakan selulose astetat ini akan berlangsung jika tidak disimpan pada tempat yang memenuhi syarat. Polyester adalah film yang direkomendasikan untuk pelestarian informasi (ANSI/IT 9.6 – American National Standard for Photography (film).Savety photographic film). Bahan ini sangat stabil dan memiliki daya tahan yang sangat baik. Mikrofilm hitam-putih dari polyester dapat bertahan sampai 500 tahun lebih jika diproses dengan standar lnternasional dan disimpan pada kondisi lingkungan yang memenuhi syarat.
(1)   Tipe Bentuk Mikro
Tipe Bentuk Mikro Bentuk mikro dikenal dengan berbagai format. Format yang sangat dikenal adalah:
a))      Mikrofilm, biasanya dalam ukuran 16 mm dan 35 mm, dapat ditampilkan dalam bentuk rol, atau dipotong-potong pendek dalam bentuk strip dan dimasukkan dalam jaket transparan seperti negatif foto atau dalam bentuk kaset
b))     Mikrofis (microfiche) adalah lembar film dalam ukuran 105 x 148 mm yang dapat menampung informasi sebanyak 98 halaman buku atau lebih tergantung pada faktor pengecilannya.
c))      Kartu Apertur (aperture cards) atau dikenal dengan kartu image adalah film 35 mm yang ditempelkan pada suatu kartu komputer yang dipakai untuk merekam gambar teknik.
(b)  Komposisi Film: Ada 3 macam komposisi film yang umum digunakan pada bentuk mikro, yaitu:
a))      Mikrofilm silver gelatin (ANSI / NAPM 9.1 American National Standard for phography (Film) – Archival record, silvergelatin type, with a base of savety cellulose ester and polyester having silver gelatin emulsion). Tipe silver gelatin (atau silver halide) mikrofilm pada dasarnya menggunakan teknologi fotografi hitam putih dan biasanya digunakan untuk merekam informasi atau image untuk tujuan pelestarian atau arsip. Informasi atau image yang dihasilkan merupakan basil proses pembentukan secara kimia. Bahan kimia yang cukup berbahaya dari  proses ini dibilas dengan air selama proses berlangsung. Generasi pertama dari mikrofilm silver gelatin disebut master negatif. Dari master negatif ini dapat dibuat duplikat negative dan mikrofilm positif untuk keperluan layanan.
b))     Mikrofilm Diazo (ANSI / IT 9.5- American National Standard for photography (Film)-Amonia-Processed diazo film specification for stability): Emulsi pada permukaan film ini adalah campuran antara garam diazonikum dan zat warna sehingga dapat memproduksi warna yang biasanya untuk membuat dupkikat dari master negative. Pada proses pembentukan image, emulsi disinari dengan radiasi UV. Mikrofilm ini kurang stabil dan kurang baik untuk penyimpanan informasi dalam waktu yang lama.
c))      Vesikular Mikrofilm (ANSI / IT 9.12- American National Standard for photography (Film), processed vesicular film. Specification for stability.Whether produced from an original negative or from an original positive). Film ini juga menggunakan garam diazonikum yang tersebar pada permukaan plastik, dengan adanya cahaya akan membentuk bayangan tersamar. Kemudian dengan proses pemanasan akan dengan cepat bayangan tersamar dan menjadi bayangan nyata. Kualitas resolusi image lebih rendah dari mikrofilm silver halide dan mikrofilm diazo.
(b)     Seleksi Bahan Perpustakaan Untuk Preservasi Bentuk Mikro
Secara umum bahan pustaka tentang Indonesia diberikan prioritas yang paling tinggi, sehingga pembuatan bentuk mikro merupakan alat kunci dalam menjamin kelangsungan hidup koleksi yang berkelanjutan. Jenis bahan pustaka yang menjadi prioritas utama dalam pembuatan bentuk mikro adalah:
a)    Bahan Pustaka Indonesia (Indonesiana) :Bahan pustaka yang tidak terbit lagi dan setidaknya memenuhi criteria berikut akan dipertimbangkan untuk bibuatkan bentuk mikronya, yaitu:
(1)     Nilai riset yang tinggi
(2)     Memiliki harga yang tinggi.
(3)     Kondisinya yang jelek/buruk
(4)     Penggunaannya yang tinggi
(5)     Unik
(6)     Bahan langka.
Prioritas akan ditetapkan berdasarkan suatu gabungan kriteria ini. Dari prioritas paling tinggi sampai dengan criteria yang paling rendah, dibuatkan daftar urutan prioritasnya.

b)        Naskah :Disamping prioritas yang ditetapkan di atas,  naskah adalah koleksi satu-satunya. Oleh sebab itu harus dibuatkan bentuk mikronya, kecuali koleksi naskah tersebut tidak lengkap.
c)        Peta :Pembuatan bentuk mikro peta adalah salah satu pilihan untuk koleksi lembaran yang relatif luas permukaannya. Pemilihan bagaimana cara pemotretannya harus dikonsultasikan dengan penanggung jawab koleksi peta dengan memperhitungkan luas jangkauan kamera dan kebutuhan para pengguna. Prioritas untuk membuat kopi akan ditentukan dengan menggunakan kriteria di atas.
d)        Surat Kabar: Semua surat kabar yang terbit di Indonesia dapat dipertimbangkan untuk dibuatkan bentuk mikronya. Perpustakaan Nasional bertanggung jawab membuat bentuk mikro surat kabar terbitan Jakarta, sedangkan surat kabar terbitan provinsi, masing masing Provinsi mengusahakan pengalokasian dana untuk pembuatan bentuk mikro.
Perpustakaan Nasional tidak akan mampu menyimpan, melestarikan bentuk fisik surat kabar nasional dan daerah karena keterbatasan dana dan tempat. Oleh sebab itu semua surat kabar dibuatkan bentuk mikronya dan hanya dua atau tiga surat kabar utama yang terbit di jakarta dan satu surat kabar utama dari masing-masing daerah yang perlu disimpan.
Bidang/bagian yang memproduksi bentuk mikro bertanggung jawab menyimpan dan memelihara master negatif dari semua surat kabar Nasional dan menjamin bahwa tiga generasi master negatif bentuk mikro yang dibuat dari film yang sesuai dengan standar diproduksi dan disimpan dalam ruangan yang memenuhi syarat untuk kelangsungan hidup jangka panjang.
(c)      Standar
Perpustakaan yang membuat bentuk harus menerapkan standar internasional, yang mencakup: (1) dalam pemilihan film yang stabil, (2) melaksanakan kontrol kualitas yang ketat dari semua bentuk mikro yang dihasilkan, termasuk melakukan methylene blue test untuk memerikksa adanya residu thiosulfat pada film dan melakukan densito meter untuk memeriksa density image, (3) memonitor dan mengendalikan kondisi lingkungan tempat penyimpanan serta (4) melakukan penyuluhan kepada staf dan pengguna tentang penanganan bentuk mikro.
(d)     Penyimpanan Master Negatif
Salah satu problem dalam pelestarian bentuk mikro adalah sensitifnya terhadap iklim, sebab sangat sulit memperbaiki bentuk mikro jika sudah terjadi kerusakan.Oleh sebab itu harus tersedia tempat penyimpanan yang  khusus. Idealnya, master negative (generasi pertama) harus disimpan pada tempat yang aman, tahan api, bebas banjir dengan kondisi lingkungan yang konstan dengan temperature antara 18 – 20 0 C dan kelembapan udara (RH) antara 35 – 45 %.
(e)      Peralatan yang Digunakan pada Pembuatan Bentuk Mikro
a)        Camera: Alat untuk memotret informasi yang ada pada dokumen ke dalam bentuk mikro. Kamera ini dilengkapi dengan sistem komputer yang dapat memprogram waktu pemotretan dan mengukur fokus secara otomatis. Kapasitas dokumen yang dapat direkam  adalah ukuran A4 dan A3.
b)        Mikro Processor: Alat untuk mencuci film yang sudah merekam informasi. Dengan waktu yang relatif singkat sudah dapat dilihat hasilnya. Mikrofilm yang dapat dicuci dengan alat ini adalah film dengan ukuran 16 mm x 100 feet dan 35 mm x 100 feet.
c)        Micro Reader dan Micro Reader Printer: Alat untuk membaca informasi yang ada dalam bentuk mikro dan alat ini dapat dihubungkan dengan komputer dan dapat mencetak/mengkopi dengan printer komputer.
d)       Duplicator: Alat untuk menggandakan/membuat duplikat mikrofilm
e)        Storage (tempat penyimpanan): Tempat untuk menyimpan bentuk mikro. Tempat untuk menyimpan master negatif dipisah dengan tempat penyimpanan  mikrofilm positif, dan kondisi lingkungannya pun berbeda.
f)         Densitometer: Alat untuk mengukur kepadatan cahaya pada bentuk mikro.
g)        Splicer Film: Alat penyembung film apabila terjadi kesalahan dan perlu suatu perbaikan
(f)      Prosedur Pembuatan Bentuk Mikro
Dalam melakukan alih media ke dalam bentuk mikro, ada beberapa tahap yang perlu diketahui, yaitu:
a)        Persiapan awal (preparation): berupa penelusuran data, penelitian dokumen yang akan direkam, penelitian bibliografis, serta penataan huruf sesuai dengan judul dokumen yang akan direkam. Data bibliografis / diskripsi, nomor rol, tanggal pemotretan, judul dokumen, thun terbit, nama penerbit, pengarang dan perimbangan reduksi dicatat dalam suatu formulir.
b)        Pemotretan: Pada umumnya cara kerja camera yang digunakan untuk pekerjaan pembuatan bentuk mikro hampir sama dengan cara kerja camera fotografi, yaitu memasukkan film ke  kamera, mengatur cahaya yang diperlukan. Perbedaan yang mendasar adalah fotografi memotre benda yang bergerak, sedangkan camera mikrofilm memotret benda yang tidak begerak. Pengaturan letak permukaan dokumen diusahakan rata, fokus diset dengan mengatur ketinggian kamera, pencahayaan diatur konstan sesuai dengan warn dokumen yang akan kita rekam untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
c)        Processing: Untuk memproses film digunakan bahan kimia seperti memproses film pada fotografi, yaitu developer dan fixer. Developer berfungsi untuk menampakkan huruf atau gambar pada film, sedangkan fixer berfungsi untuk menstabilkan huruf atau gambar tersebut sehingga tidak lagi bereaksi apabila film tersebut terkena cahaya. Dalam melakukan processing ini operator  dituntut profesional (mempunyai keahlian, cermat dan teliti agar hal-hal yang merugikan tidak terjadi. Apabila terjadi suatu kegagalan, kerugian biaya, waktu dan tenaga.
d)       Persiapan yang perlu dikerjakan oleh operator adalah: memperhatikan suhu developer agar mencapai panas yang diperlukan, sirkulasi air yang masuk dan keluar pada processor harus seimbang dan perputaran film pada roda gigi harus sempurna. Sebaiknya processor ini ditempatkan dalam kamar gelap untuk memperlancar kegiatan dalam memasukkan film kegalam processor.
e)        Duplikator: Alat ini dipakai untuk menggandakan atau untuk membuat duplikat master negatif menjadi kopi negatif dan mikrofilm positif (working positive) untuk layanan. Pembuatan duplikat  ini penting keberadaannya karena pembuatan duplikat ini untuk mencegah kerusakan master negatif karena digunakan untuk dibaca.
f)         Pemeriksaan hasil: kegiatan ini diperlukan untuk mengetahui apakah hasil pemotretan, processing dan penduplikasian sudah memenuhi standar yang ditetapkan. Kegiatan ini meliputi: pengecekan hasil processing, methylene blue test, pengecekan density (kepadatan cahaya pada huruf/gambar dan hasil duplikasi.
g)        Finishing: yaitu kegiatan-kegiatan yang perlu dikerjakan, meliputi: pencatatan hasil pemotretan, pengetikan label pada kotak mikrofilm dan pemasukan data pada komputer.
(g)     Kerusakan Koleksi Bentuk Mikro
Semua koleksi bahan pustaka, tak terkecuali koleksi bentuk mikro akan menjadi rusak karena dimakan usia. Kita tidak dapat menghentikan proses kerusakan, akan tetapi kita hanya dapat menghambat kerusakan agar koleksi dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang. Menurut (Ulger, 1992), yang dapat merusak koleksi bentuk mikro adalah karena: (a) kondisi lingkungan tempat penyimpanan; (b) kurang teliti dalam proses pembuatan dan (c) kesalahan penanganan clan penggunaan.
a)        Kerusakan karena kondisi lingkungan
(1)     Kerusakan ini terutama suhu dan kelembapan udara, pencemar udara dan jamur. Suhu udara dan kelembapan udara yang tinggi akan menyebabkan emulsi pada permukaan film akan menjadi lunak (berlendir) dan menempel satu dengan yang lainnya, berbau, tepi film mengkerut dan melengkung, serta emulsi film memutih (silvering) akibat perubahan kelembapan yang terlalu ekstrim.
(2)     Pencemar udara dapat merusak mikrofilm positif seperti peroksida yang berasal dari kertas dan kayu, senyawa klorin yang berasal dari pemutih kertas, nitrogen oksida dan sulfur dioksida yang berasal dari pembakaran minyak bumi, hidrogen sulfida yang berasal dari karet yang mengandung sulfur, zat- zat tambahan pada perekat, gas-gas yang keluar dari cat, ozon yang berasal dari mesin fotocopy, ammonia, asap, insektisida, debu akan membahayakan bentuk mikro.
(3)     Kertas bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap gas-gas pencemar seperti gas sulfur dioksida, nitrogen oksida, hydrogen sulfide dalam lingkungan udara lembab dan akan melepaskan gas-gas yang bersifat asam jika kelembapan udara rendah (kering). Gas-gas pencemar yang bersifat asam ini akan merusak mikrofilm.
(4)     Kerusakan yang terjadi adalah meredupnya atau kaburnya image yang disebabkan oleh ozon dan nitrogen oksida, bintik-bintik noda pada film disebabkan oleh asam yang terkandung dalam kertas, baik oleh kertas seperti yang diuraikan di atas, maupun oleh kotak karton yang mengandung lignin atau yang mengandung asam (non acid free) sebagai pembungkus, noda kuning dan pelapukan disebabkan oleh kandungan nitrat yang tinggi dalam film, kerusakan film disebabkan oleh sulfur dioksida serta distorsinya image disebabkan oleh jamur.
(5)     Kerusakan karena kurang teliti dalam proses pembuatan Kerusakan ini karena kurang memperhatikan standar kualitas yang telah ditetapkan dalam ANSI/AIIM MS23-1998 (Kesse, http://palimpsest.stanford.edu/byouth/kesse.regro.htm) seperti memeriksa kesalahan dalam pemotretan (fokus atau over exposed), kerusakan permukaan film (goresan dan sidik jari), adanya bintik-bintik air pada saat pengeringan (water spot), tidak menggunakan penutup halaman berikut dari manuskrip sehingga timbul bayangan serta penggunaan methylene blue test untuk mendeteksi adanya residu thiosulfat pada film.
b)        Kerusakan karena salah penanganan dan pemakaian
(1)     Kerusakan yang terjadi karena kesalahan dalam penanganan dan pemakaian ini adalah: tergores, terputus, memakai selotape (pressure sensitive tape) untuk menyambung atau menempelkan label, adanya sidik jari serta menyimpan mikrofilm dalam kotak yang tidak memenuhi syarat.
(2)     Mikrofilm positif yang tergores selama penyimpanan maupun selama pemakaian tidak dapat dihindarkan. Hal ini bisa saja terjadi karena kurang bersihnya micro reader atau gesekan-gesekan benda tajam lainnya.
(3)     Penggunaan selotape untuk menempelkan label nama manuskrip atau menyembung mikrofilm yang putus akan merusak mikrofilm itu sendiri. Hal ini disebabkan karena perekat pada selotape mengandung asam yang dapat merusak emulsi.
(4)     Terputusnya mikrofilm disebabkan karena tidak hati-hati dalam dalam pemakaian atau dapat juga karena sengaja disambung untuk menyatukan sebuah manuskrip agar tidak terletak di dua rol yang berbeda.
(5)     Sidik jari menurut Harrell (1996) merupakan tanda bahwa mikrofilm sering digunakan. Sidik jari orang mengandung lemak, asam, garam dan kontaminan lain yang berbahaya bagi emulsi film. Lemak merupakan pemicu tumbuhnya spora jamur dan akan menyebar pada emulsi silver gelatin. Sidik jari mengandung deposit yang menyebabkan tergoresnya film.
(6)     Menyimpan mikrofilm dalam kotak yang tidak memenuhi syarat merupakan kegiatan yang dapat merusak mikrofim. Sesuai dengan anjuran The National Archive of Australia (1999), penyimpanan mikrofilm yang paling aman adalah dimasukkan ke dalam kotak karton bebas asam dan bebas lignin (archival quality enclosure).Mikrofilm dapat juga disimpan dalam kotak plastik (dari polypropelene atau polycarbonate) atau dalam kotak logam (aluminium).Tapi harus diingat bahwa kalau menyimpan dalam kedua jenis kotak ini harus mengkondisikan kelembapan udara dalam kotak sesuai dengan kondisi yang ideal bagi mikrofilm. Kalau kelembapan udara dalam kotak tersebut tinggi, akan menyebabkan tumbuh jamur, berlendir, kriting dan berbau pada mikrofilm.
2.7 Pengawasan Pelaksanaan Pelestarian Bahan Perpustakaan
a.    Monitoring.
Setelah mempelajari jenis bahan perpustakaan, kerusakan yang terjadi, perencanaan pelestarian, dan organisasi yang berkembang baik di negara-negara maju, di Perpustakaan Nasional RI sebagai instansi pembina maupun unit-unit pelestarian yang terdapat di daerah provinsi di Indonesia, serta pelaksanaan pelestarian yang umum dilaksanakan di unit-unit pelestarian baik yang ada di luar negeri maupun yang ada di Perpustakaan Nasional RI,  maka peserta pendidikan dan pelatihan diharapkan dapat memonitor kegiatan pelestarian yang ada di daerahnya masing-masing.
Kegiatan monitoring tersebut antara lain:
a.    Sudah sejauh mana pelaksanaan pelestarian di instansi masing-masing.
b.    Memonitor kondisi lingkungan perpustakaan, termasuk temperature, kelembapan udara, cahaya yang masuk keruang penyimpanan dan tingkat polusi udara.
c.    Memonitor pelaksanaan pelestarian yang sederhana maupun yang kompleks, termasuk perbaikan fisik sampai penjilidan ulang maupun pelestarian informasi.
d.   Melakukan survei terhadap bahan perpustakaan yang perlu dilestarikan.
e.    Memonitor apakah ada pelatihan dalam bidang pelestarian, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya program ini bagi para pustakawan maupun pemustaka.
f.     Mengarahkan pengawasan kepada unit pelestarian serta memelihara kerja sama yang baik dengan unit-unit lain dalam perpustakaan.
g.    Memonitor tata letak perlengkapan perpustakaan seperti rak dan lemari terhadap pencahayaan dan lain-lain untuk mengurangi risiko kerusakan.
h.    Memonitor apakah ada dari kepala unit pelestarian maupun stafnya untuk mengikuti seminar atau workshop atau semacam penyuluhan yang diadakan oleh instansi yang sudah maju unit pelestariannya.
2.    Evaluasi
Untuk mengevaluasi pelaksanaan pelestarian di perpustakaan peserta pendidikan dan pelatihan, pimpinan perpustakaan tersebut perlu mengidentifikasi kegiatan yang diperlukan dalam melestarikan koleksi bahan perpustakaannya. Untuk maksud tersebut diperlukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a.    Identifikasi kondisi fisik dan kondisi lingkungan perpustakaan.
b.    Kegiatan perawatan dan perbaikan sedehana pada koleksi bahan perpustakaan.
c.    Kegiatan penjilidan ulang bahan perpustakaan.
d.   Kegiatan fumigasi dan anti rayap pada gedung perpustakaan.
e.    Kegiatan alih media pada naskah kuno dan koleksi langka.
f.     Keikutsertaan pimpinan unit pelestarian dan stafnya dalam kegiatan kerja sama pelestarian dan seminar/workshop/ penyuluhan pelestarian.

Dari kegiatan-kegiatan sederhana yang disebutkan di atas, diperlukan evaluasi dari pimpinan perpustakaan, sudah sejauh mana keterlibatan unit pelestarian dalam menangani kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan demikian, kalau  unit pelestarian sudah berjalan dengan baik, maka perpustakaan tersebut sudah menjalankan fungsi perpustakaan secara baik dan benar.