PELESTARIAN BAHAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pelestarian
Kata pelestarian oleh kalangan perpustakaan, arsip
dan museum diterjemahkan dari kata preservasi (preservation) dan
konservasi (conservation). Menurut The American Institute for Conservation
yang selanjutnya disingkat AIC, preservasi mempunyai pengertian yang lebih luas
jika dibandingkan dengan pengertian konservasi. Preservasi
adalah aktivitas memperkecil kerusakan secara fisik dan kimiawi dan mencegah
hilangnya kandungan informasi. Tujuan utama preservasi adalah memperpanjang
eksistensi benda budaya, sedangkan pengertian konservasi merupakan istilah yang
lebih spesifik, yaitu menyangkut penanganan secara fisik pada masing-masing
benda budaya, biasanya setelah benda budaya tersebut sudah mengalami kerusakan.
Lain halnya dengan pengertian yang dikemukakan oleh Feilden, konservasi
mempunyai pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan preservasi.
Menurut sumber ini, ada beberapa tingkatan dalam kegiatan konservasi, yaitu: prevention
of deterioration, preservation, consolidation, restoration and reproduction yang masing-masing dapat dijelaskan
sebagai berikut: prevention of deterioration: tindakan preventif untuk melindungi benda budaya dengan mengendalikan
kondisi lingkungan dan kerusakan lainnya, termasuk cara penanganan; preservation: penanganan yang berhubungan langsung
pada benda budaya. Kerusakan karena udara lembab, faktor kimia, serangga dan
mikroorganisme harus dihentikan untuk
menghindari kerusakan lebih lanjut; consolidation:
memperkuat bahan yang rapuh dengan memberikan perekat (adhesive) atau bahan penguat lainnya; restoration: memperbaiki koleksi yang telah rusak dengan
mengganti bagian yang hilang agar bentuknya mendekati keadaan semula; reproduction: membuat copy
dari bahan asli, termasuk membuat bentuk mikro, foto repro dan replika serta
transformasi ke dalam bentuk digital. Senada dengan pengertian yang dikemukakan oleh
AIC dan Dureau adalah pengertian yang dikemukakan oleh Teygeler, bahwa
preservasi terdiri dari empat komponen, yaitu: preventive conservation,
passive conservation, active conservationand restoration, yang
pengertiannya dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Preventive conservation: yaitu tindakan dalam
mengoptimalkan kondisi lingkungan untuk memperpanjang umur koleksi. Tindakan
ini dimulai dengan menyusun kebijakan yang jelas. Kebijakan tersebut mencakup
pelatihan, membangun kesadaran dan adanya staf yang profesional.
b.
Passive conservation: yaitu kegiatan-kegiatan untuk
memperpanjang umur koleksi yang mencakup memonitor kebersihan, udara bersih,
penggunaan AC. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam passive conservation
ini adalah melaksanakan survei untuk mengetahui
kondisi fisik koleksi dan kondisi
lingkungan tempat koleksi disimpan.
c.
Active conservation: adalah tindakan yang
berhubungan langsung dengan koleksi. Tindakan ini meliputi: membuat kotak
pelindung dan membungkus ulang koleksi, menjilid ulang dengan mengganti lembar
pelindung (end paper) dengan kertas
bebas asam, membersihkan koleksi, menetralkan asam (deacidification) dan lain-lain.
d.
Restoration: yaitu tindakan untuk memperpanjang umur koleksi
dengan memperbaiki tampilan fisik koleksi agar mendekati keadaan semula sesuai
dengan aturan dan etika konservasi.
tujuan utama program pelestarian bahan perpustakaan adalah`mengusahakan
agar koleksi bahan perpustakaan selalu tersedia dalam keadaan siap pakai. Hal
ini dapat dilakukan dengan melestarikan bentuk asli dengan cara memelihara, merawat,
mengawetkan dan memperbaiki bahan perpustakaan serta melestarikan kandungan
informasi melalui alihmedia ke dalam bentuk mikro, fotografi dan
transformasi ke dalam bentuk digital.
2.2 Jenis
Materi Bahan Perpustakaan
a. Bahan Perpustakaan dari Kertas
1)
Bahan
baku kertas:
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kertas adalah
serat selulosa yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan, seperti kayu, bambu, merang,
ampas tebu, kapas dan
lain-lain. Selulosa ini terbagi dalam tiga bentuk, yaitu: alpha selulosa, beta selulosa dan gamma selulosa. Alpha selulosa
mempunyai derajat polimerisasi paling tinggi dan biasa dipakai untuk membuat
bubur kertas, sedangkan beta dan gamma
selulosa mempunyai derajat polimerisasi yang lebih rendah dan merupakan senyawa
hemiselulosa. Kayu dan merang selain mengandung selulosa murni juga mengandung
lignin dan hemiselulosa. Lignin dan hemiselulosa dalam kayu terikat satu sama
lain diantara selulosa. Pada pembuatan kertas, lignin dan hemiselulosa harus
dipisahkan dan dihilangkan, karena adanya bahan ini akan menyebabkan kertas
selalu bersifat asam.
Selain
dari bahan-bahan tersebut di atas terdapat bahan tambahan yang dipergunakan
untuk membuat kertas. Bahan-bahan tersebut dapat dibagi menurut fungsinya,
yaitu:
a)
Bahan penambah volume, seperti kaolin,
kalsium sulfat, kalsium karbonat, titanium oksida dan lain-lain.
b)
Bahan penahan penyebaran tinta di atas
kertas dan bahan penahan penyerapan uap air seperti: alum rosin, malam, tepung
dan sodium silikat.
c)
Zat warna seperti pigmen dan zat warna
tumbuhan untuk memberi warna yang diinginkan.
d)
Perekat untuk memberi lapisan pelindung
pada kertas, seperti resin dan polyvinyl
alkohol.
e)
Bahan untuk memberi daya tahan pada
kertas, seperti: formaldehide untuk melindungi kertas dari jamur.
2) Proses pembuatan kertas
a) Proses pembuatan bubur kertas
Dapat dibagi menjadi tiga macam cara, yaitu: proses mekanis, proses
semikimia dan proses kimia. Pada proses mekanis, bahan baku kayu digiling
dengan batu besar sambil dibasahi dengan air. Bubur kertas yang dihasilkan kurang
murni dan seratnya banyak yang rusak
serta kekuatannya rendah. Pada proses semikimia bahan baku kayu direndam dan
dipanaskan dengan larutan bahan kimia sampai lunak, baru kemudian digiling.
Dengan cara ini diperoleh bubur kertas yang dihasilkan yang lebih baik walaupun
masih kurang murni.
Proses pembuatan bubur kertas dengan cara kimia, bahan baku kayu dimasak
dengan bahan kimia tertentu sampai lignin dan hemiselulosa yang tidak
diinginkan terpisah dari serat selulosa. Bubur kertas yang dihasilkan dengan
proses ini lebih murni dan seratnya tidak rusak. Berdasarkan perbedaan bahan
pemasak yang dipakai, maka dikenal 3 cara pembuatan bubur kertas dengan proses
kimia, yaitu:
1)
Proses soda: bahan pemasak yang dipakai
adalah natrium karbonat dan natrium hidroksida. Pemasakan dilakukan pada suhu 160 – 170 O C
selama 6 – 8 jam. Bubur kertas (Pulp)
yang dihasilkan berwarna coklat dan dapat diputihkan. Biasanya bubur kertas ini
ditambah dengan bubur kertas dari bahan lain untuk membuat kertas tulis.
2)
Proses sulfat : bahan pemasak yang
dipakai adalah natrium hidroksida, natrium sulfit dan natrium karbonat.
Pemasakan dilakukan pada suhu 170O C selama 2 – 5 jam. Bubur kertas yang dihasilkan
berwarna coklat, sukar diputihkan, tetapi seratnya kuat. Bubur kertas ini
dipakai untuk membuat kertas kantong.
3)
Proses sulfit: bahan yang dipakai adalah garam-garam sulfit
seperti natrium sulfit, natrium sulfit asam dan kadang kadang dipakai
garam-garam kalsium dan magnesium. Bubur kertas yang dihasilkan dapat
diputihkan. Biasanya dipakai untuk membuat kertas tulis.
Untuk
menghilangkan bahan-bahan berwarna lain yang tidak diinginkan, maka bubur
kertas dimurnikan dengan bahan pengelantang, seperti kaporit, klor dioksida dan
hidrogen peroksida.
2)
Proses
pembuatan lembaran kertas.
Pada dasarnya proses pembuatan lembaran kertas dari bubur adalah pengolahan
bahan tersebut dengan menambahkan bahan pengisi, zat warna dan bahan tambahan
lain untuk memperbaiki mutu kertas. Bubur kertas yang dihasilkan menurut salah
satu proses di atas dipotong-potong menjadi bagian yang kecil dan diaduk hingga
menjadi bubur kertas yang homogen, kemudian ditambah dengan bahan pengisi,
seperti tawas, kaolin, tapioka, kalsium sulfat, rosin dan lain-lain. Penambahan ini
untuk memperbaiki sifat kertas, misalnya merapatkan pori-pori, menambah
kekuatan dan melicinkan permukaan kertas.
Bubur kertas yang telah homogen
itu dituangkan ke dalam alat pembentuk lembaran kertas dengan ukuran lebar dan
ketebalan tertentu. Kemudian dikeringkan dengan rol-rol baja
yang dipanaskan dengan uap air. Pemanasan dilakukan bertingkat untuk
menjaga mutu kertas yang dihasilkan.
b. Bahan Perpustakaan Bukan Kertas
1)
Fotografi: Bahan fotografi dalam pengertian yang lebih luas di
perpustakaan mencakup film gambar hidup, (film hitam putih dan film berwarna),
bentuk mikro (mikrofilm dan mikrofis), koleksi foto (hasil cetakan dan negatif
foto). Koleksi tersebut terbuat dari plastik film (selulosa nitrat, selulosa
asetat, polyester) yang pada
permukaannya dilapisi dengan emulsi senyawa perak yodida. Untuk mendapatkan
gambar akhir dari fotografi diperlukan proses yang terdiri dari: pengembangan (developing), pemantapan (fixation), pencucian dan pengeringan.
2)
Pita Magnetik: Pita magnetic
digunakan untuk merekam data dan suara. Contohnya pita kaset dan pita komputer.
Keawetan dan daya tahan rekaman suara tidak menjadi bahan pertimbangan utama,
karena biaya produksi pita suara tersebut rendah.
3)
Piringan (disk):
Piringan adalah lembaran plastik atau ebonite yang berbentuk bulat (sirkular)
yang digunakan untuk merekam suara dan digital komputer. Biasanya piringan ini
dilapisi dengan oksida besi seperti pada pita rekaman. Piringan yang biasa
digunakan sebagai koleksi perpustakaan adalah flopi disk, VCD, CD-ROM dan lain-lain.
4)
Koleksi Digital atau objek
digital merupakan objek yang memiliki struktur yang tidak terikat pada
jenis mesin ataupun landasan pijak teknologinya. Koleksi digital dapat
diidentifikasi, diakses dan dilindungi bilamana diperlukan.
Koleksi digital tidak hanya mengandung elemen informasi, tetapi juga
memiliki identitas unik dan metadata.Termasuk dalam metadata ini adalah
informasi tentang aturan akses, cacatan kepemilikan, dan perjanjian mengenai
pemakaian. Dengan kata lain, objek digital dalam pengertian ini adalah objek
yang punya aspek hokum dan ekonomi, selain aspek teknis dan fisik.
Dalam kontek preservasi, sebuah objek digital merupakan salah satu dari lima entitas.
2.3 Kerusakan Bahan Perpustakaan
a. Faktor
Lingkungan
Seperti bahan organik lainnya,
kertas merupakan bahan yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan, terutama
jika kertas mengandung asam, lignin dan hemiselulosa. Kerusakan bahan
perpustakaan tersebut disebabkan oleh:
1) Temperatur dan Kelembapan Udara
Kelembapan nisbi atau relative
humidity dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara berat uap air yang
terkandung dalam udara pada volume tertentu dengan kandungan uap air maksimum
yang dapat diserap oleh udara pada volume dan temperatur yang sama. Udara panas
dapat menyerap lebih banyak uap air jika dibandingkan dengan udara dingin. Oleh
sebab itu kelembapan udara akan naik jika temperatur turun dan sebaliknya
kelembapan udara akan turun jika temperatur naik selama kandungan uap air tidak
berubah.
Jumlah kandungan uap air dalam udara sangat penting diketahui karena dengan
adanya uap air ini akan menambah kecepatan reaksi yang akan memacu kecepatan
pelapukan bahan perpustakaan. Seperti hidrolisa asam dalam kertas akan
bertambah cepat jika temperatur dan kelembapan tinggi.
Kelembapan udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menimbulkan
beberapa masalah. Kombinasi antara temperatur yang tinggi dan kelembapan yang
tinggi akan menyuburkan pertumbuhan jamur dan serangga. Pada keadaan kelembapan
yang terlalu tinggi akan menyebabkan tinta yang larut dalam air akan menyebar
dan kertas pada buku akan saling menempel, yang akan sulit dilepas pada saat
kering. Sebaliknya jika kelembapan udara terlalu rendah, menyebabkan kertas
menjadi kering dan getas serta sampul yang terbuat dari kulit akan menjadi keriput.
Perubahan temperatur akan menyebabkan perubahan kelembapan. Fluktuasi yang
sangat drastis akan besar pengaruhnya terhadap kerusakan kertas, karena kertas
akan mengendur dan menegang. Jika hal ini terjadi berulang kali, akan
memutuskan ikatan rantai kimia pada serat selulosa
2) Cahaya
Cahaya atau energi radiasi juga mempunyai efek pada bahan pustaka. Cahaya
akan mempercepat oksidasi dari molekul selulosa sehingga rantai ikatan kimia
pada molekul tersebut terputus. Cahaya mempunyai pengaruh mengelantang,
menyebabkan kertas menjadi pucat dan tinta memudar. Karena pengaruh cahaya ini,
lignin pada kertas akan bereaksi dengan komponen lain sehingga kertas berubah
menjadi kecoklatan.
Sinar tampak dalam cahaya dapat merusak bahan pustaka,
akan tetapi sinar ultra violet yang tidak tampak lebih reaktif dan lebih
merusak. Radiasi ultra violet dengan panjang gelombang antara 300 - 400
nanometer menyebabkan reaksi fotokimia. Radiasi ultra violet ini berasal dari
cahaya matahari (25 %) dan lampu TL (3 - 7 %).Kerusakan karena cahaya sangat
tergantung dari panjang gelombang (adanya sinar UV) dan waktu pencahayaan. Makin kecil
panjang gelombang dan makin lama waktu pencahayaan, kertas makin cepat rusak.
3) Pencemar Udara
Semua bahan pencemar yang terkandung dalam udara
berbahaya bagi bahan pustaka. Pencemar udara seperti gas sulfur dioksida, gas
hidrogen sulfida dan gas nitrogen oksida yang berasal dari hasil pembakaran
minyak bumi pada pabrik dan kendaraan bermotor dapat merusak bahan pustaka. Gas
sulfur dioksida dan nitrogen oksida bereaksi dengan uap air yang ada di udara
membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang dapat menyebabkan kertas menjadi
rapuh.Gas ozon yang ada pada udara yang terjadi bersamaan dengan terjadinya
halilintar (petir) juga dapat menyebabkan reaksi oksidasi pada kertas, sehingga
kertas menjadi rapuh.
Debu, kotoran dan partikel lainnya yang berasal dari
udara dapat merusak kertas, yaitu antara lain: kertas mudah tergores karena
gesekan, partikel debu akan masuk ke sela-sela halaman buku. Partikel debu pada
lingkungan yang lembab akan menimbulkan noda permanen yang sukar dihilangkan.
Kotoran dan partikel padat seperti jelaga dapat menimbulkan suasana asam yang
dapat merusak kertas.
4) Faktor Biota
Mahluk hidup seperti jamur, serangga dan binatang pengerat dapat merusak
bahan perpustakaan.Spora jamur selalu ada dalam udara. Spora ini akan tumbuh
jika kondisi memungkinkan. Kondisi yang hangat dengan temperatur antara 32o - 35o dan
kelembapan di atas 70 % RH, gelap dan sedikit sirkulasi udara, jamur akan
tumbuh dengan subur. Jamur ini akan melemahkan kertas dan menimbulkan noda
permanen.
Serangga dan binatang pengerat memakan serat dan bahan organik lainnya pada
bahan perpustakaan.Serangga yang biasa menyerang bahan perpustakaan adalah kecoa, silverfish, booklice, bookworm dan
rayap. Serangga
ini memilih hidup di tempat-tempat yang hangat, gelap dan lembab. Serangga ini
memakan bahan perpustakaan pada malam hari pada saat orang tidak ada.Kerusakan
yang ditimbulkan biasanya tidak dapat dikembalikan seperti semula, karena ada
bagian-bagian yang hilang atau berlubang. Binatang pengerat merusak bahan
perpustakaan karena dimakan dan dipakai untuk membuat sarang. Binatang ini
biasanya meninggalkan kotoran yang menyebabkan bahan perpustakaan menjadi kotor.
5) Rak dan Lemari Buku yang Tidak
Memenuhi Syarat
Rak dan lemari
buku yang tidak memenuhi syarat dapat merusak bahan perpustakaan, misalnya
ukuran buku lebih besar dari rak dan lemari buku yang terbuat dari material yang dapat
menimbulkan kerusakan pada bahan pustaka. Buku yang diletakkan pada rak yang
lebih kecil dari ukuran buku dapat mengakibatkan kerusakan fisik, seperti kulit
(sampul) buku menjadi patah dan melengkung sehingga blok buku yang sudah rapuh
akan patah dan hancur.
6) Bencana
Alam
Bencana alam
seperti kebanjiran, gempa bumi, kebakaran dan
kerusuhan merupakan faktor yang sangat sulit dielakkan. Bencana alam ini
dapat memusnahkan bahan perpustakaan dalam waktu singkat.Kerusakan yang terjadi
karena kebanjiran dan air hujan adalah timbulnya noda oleh jamur dan kotoran
yang dibawa oleh air. Noda yang ditimbulkan oleh jamur ini sangat sukat
dihilangkan karena jamur berakar di sela-sela serat kertas.
b. Faktor
Manusia
Faktor penyebab
yang besar bagi kerusakan bahan perpustakaan dimungkinkan karena keterlibatan
manusia. Keterlibatan tersebut dapat dilakukan secara langsung (misalnya:
pencurian, pengrusakan, penanganan yang kurang hati-hati) atau kerusakan secara
tidak langsung, misalnya memproduksi kertas dengan kualitas rendah, mutu
jilidan yang rendah dan tidak adanya penyuluhan kepada staf dan pengguna
perpustakaan.
1)
Kualitas
kertas
Ada beberapa
faktor kerusakan yang harus diperhatikan di dalam usaha pelestarian bahan
perpustakaan yang terbuat dari kertas.Faktor utamanya ialah mutu kertas itu
sendiri, selain faktor-faktor kondisi penyimpanan, penjilidan dan seringnya
dipakai atau dipinjam. Kualitas kertas yang baik untuk bahan perpustakaan belum tentu
secara fisik terlihat baik. Kualitas kertas yang baik sebagai bahan pustaka adalah
kertas yang bebas dari senyawa-senyawa asam dan lignin.
Senyawa Asam
Kandungan
Senyawa asam didalam kertas akan mempercepat reaksi hidrolisis. Makin cepat
reaksi hidrolisis, makincepat terjadi pelapukan pada kertas tersebut.
Senyawa-senyawa asam banyak terbentuk didalam industri kertas pada
proses-proses penghancuran batang kayu menjadi bubur kertas (pulp), proses
sizing (proses dimana agar tinta yang dipakai tidak mengembang pada kertas),
proses pemutihan kertas merupakan senyawa yang sangat berbahaya bagi daya tahan
kertas.
Lignin
Lignin adalah
zat yang banyak terkandung didalam serat-serat selulosa pada kayu. Kertas yang
banyak mengandung lignin akan mengubah warna kertas dari putih menjadi kuning
kecoklatan dan kertas menjadi lapuk.
Asam dan lignin
banyak dijumpai pada kertas modern yaitu kertas yang diproduksi setelah tahun
1850. Pada tahun ini, dikenal pembuatan kertas dengan proses pulp, yakni proses
pembuatan kertas dengan memakai bahan baku kayu dan memakai senyawa-senyawa
kimia sebagai bahan tambahannya. Sedangkan yang disebut kertas kuno yaitu
kertas yang diproduksi sebelum tahun 1850, dibuat dari bahan kayu kapas atau
serat-serat tumbuhan yang tidak mengandung lignin sedang zat tambahannya dibuat
dari bahan-bahan alami yang relatif sedikit mengandung senyawa asam, sehingga
kertas kuno relatif lebih tahan lama dan kuat dari pada kertas modern.
Kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai kualitas kertas yang baik untuk bahan pustaka
serta pentingnya peranan bahan pustaka sebagai media informasi dimasa
mendatang, mengakibatkan sering kita temui bahan pustaka yang belum lama
disimpan sudah dalam kondisi yang kurang baik, kertasnya rapuh dan berubah
warna menjadi kuning kecoklatan, bahkan ada pula yang hancur sama sekali.
Dengan hancurnya kertas tersebut, berakibat hancur pula informasi yang
terkandung didalamnya dan hal ini tentunya merupakan kerugian yang tak
ternilai.
c. Salah penanganan
Cara
penanganan yang salah dan kurang hati-hati baik yang dilakukan oleh staf maupun
pengguna dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pustaka. Penanganan tersebut
antara lain:
1)
Penanganan
secara umum :Bahan perpustakaan hendaknya dilindungi dari kerusakan
yang disebabkan karena faktor eksternal, seperti debu, air, makanan dan
minuman, cahaya langsung.
2)
Penataan
(shelving) :Tindakan yang kurang hati-hati pada saat penataan akan
menyebabkan kerusakan pada bahan perpustakaan. Menyusun buku terlalu padat
dalam rak akan menyulitkan dalam mengambil bahan perpustakaan yang berakibat
merusak punggung buku. Meletakkan buku tengkurap (bertumpu pada muka buku) akan
menyebabkan isi buku terlepas dari sampul depan.
3)
Kontrol
Bibliografi :Bila sebuah buku yang terdapat dalam koleksi perpustakaan
dalam keadaan rusak, hendaknya dipastikan adanya copy dari buku tersebut dalam kondisi yang lebih baik atau
dibuatkan mikrofilmnya. Seandainya hal tersebut tidak mungkin, hendaknya
dipastikan pula apakah perpustakaan lain memiliki copy atau mikrofilmnya. Pengecekan tersebut terjadi hanya bila
diadakan kegiatan kontrol bibliografi (bibliography
control).
4)
Reproduksi
:Kegiatan reproduksi seperti mikrografi, fotografi,photocopy dan digitalisasi merupakan upaya dalam melestarikan
bahanperpustakaan, namun pelaksanaan yang kurang terkendali dapat menyebabkan
jilidan bahan pustaka menjadi rusak dan bahan pustaka rapuh menjadi hancur.
5)
Perbaikan
kerusakan kecil pada bahan perpustakaan
:Buku atau bahan perpustakaan yang robek, halaman terlepas
dari blok buku atau menyatukan lembaran-lembaran lepas biasanya menggunakan selotape atau lackband. Perlakuan ini adalah tidak benar, karena bahan tersebut
justru akan merusak bahan perpustakaan tersebut. Demikian pula halnya dengan
penggunaan karet gelang sebagai pengikat bahan perpustakaan yang lepas atau
rusak.
d. Mutu jilidan
1)
Untuk mendapatkan jilidan yang sesuai
haruslah dipikirkan maksud dan tujuan serta bentuk jilidannya. Umumnya
pustakawan menginginkan bentuk jilidan yang kuat tanpa memikirkan
kesesuaiannya, sehingga seringkali justru dapat menyebabkan kerusakan. Menjahit
kembali akan menghasilkan jilidan yang sangat kuat, namun dengan menjahit
kembali kadangkala buku menjadi tidak dapat dibuka secara penuh. Oleh karena
itu sedapat mungkin jahitan asli tetap dipertahankan. Memotong bagian tepi buku
biasanya dilakukan agar hasil jilidan terlihat rapi, tetapi bila suatu saat
buku tersebut harus dijilid kembali maka volume buku akan berkurang bahkan
memungkinkan hilangnya sebagian tulisan.
2)
Penggunaan bahan-bahan jilidan seperti
karton, kertas pelindung yang mengandung asam dan lignin akan menyebabkan bahan
perpustakaan menjadi rapuh dan lemah, karena asam yang terdapat pada karton dan
lembar pelindung akan berpindah ke dalam buku.
e. Penyimpanan
Kesalahan dalam
penyimpanan dapat menyebabkan kerusakan fisik dan kimia pada bahan
perpustakaan. Kondisi ruang yang tidak sesuai akan menyebabkan tumbuhnya jamur,
meningkatkan kandungan asam dan tempat bersarangnya serangga, tikus maupun
mikroorganisme lainnya yang merugikan.
Kondisi rak yang kurang sesuai, misalnya kurang kuat, mudah terbakar,
mempunyai sudut dan tepi yang tajam akan menyebabkan kerusakan. Memaksakan
penyimpanan buku yang lebih tinggi dari lebar rak, akan merusak jilidan dan
kertas menjadi robek, begitu pula untuk buku-buku yang lebarmya tidak sesuai,
mengakibatkan buku akan terjuntai dan menjadi rusak.
f. Pemakaian yang berlebih
Bahan
perpustakaan yang sering dipakai atau dipinjam akan menyebabkan jilidan menjadi
kendur dan kumal. Bahan perpustakaan akan semakin rusak apabila berada pada
tangan pengguna/peminjam yang tidak mengerti bagaimana memperlakukan bahanperpustakaan dengan baik.
2.4 Perencanaan
Pelestarian Bahan Perpustakaan
a.
Analisis kebutuhan pelestarian:
Analisis kebutuhan
adalah alat manajemen dan merupakan bagian dari proses perencanaan pelestarian
untuk mengembangkan dan mengimplementasikan program pelestarian. Analisis
kebutuhan pelestarian ini dilaksanakan dengan suatu instrumen, biasanya melalui
survei untuk mengevaluasi kebijakan, kondisi koleksi, kondisi lingkungan yang
mempengaruhi pelestarian koleksi.
Ada dua metodologi survei, yaitu survei kuantitatif dan survei
kualitatif.Survei kuantitatif mencakup statistik dan menarik sampel secara acak
(random sampling) dan biasanya ini
untuk menentukan kondisi koleksi (keasaman kertas, kerusakan film pada koleksi
bentuk mikro). Survei kondisi koleksi ini akan menghasilkan data penting untuk
menentukan koleksi mana yang perlu mendapat perhatian. Sedangkan survei
kualitatif dilakukan untuk mengevaluasi yang berhubungan dengan :
1)
kebijakan dan prosedur;
2)
bangunan dan kondisi lingkungan;
3)
kesiapan menghadapi bencana;
4)
pameran;
5)
alihmedia (transformasi informasi);
6)
kebutuhan penanganan konservasi. Survei
ini biasa disebut survei perencanaan pelestarian secara umum.
Tujuan utama survei adalah untuk mengidentifikasi kerusakan dan penyebab
kerusakan bahan perpustakaansecara keseluruhan serta untuk membantu pelestarian
dengan strategi pemeliharaan.Survei ini terdiri dari survei kondisi koleksi dan
survei kondisi tempat penyimpanan, prosedur penanganan, kesiapan menghadapi
bencana dll.
b.
Survei Kondisi Bahan Perpustakaan
Survei kondisi bahan perpustakaan seperti yang
dilaksanakan di Standford University Libraries (The IRT for Conservation & Preservation, Appendix D) merupakan
sarana untuk mengetahui kerusakan dan pelapukan bahan perpustakaan. Tujuan
survei ini adalah untuk menentukan kebutuhan sumber daya dan dana yang akan
digunakan dalam pelestarian. Survei kondisi bahan perpustakaan ini meliputi:
kondisi kertas, kondisi jilidan dan kondisi board (cover). Dari hasil survei ini akan diperoleh kondisi
rusak yang harus secepatnya mendapat perawatan dan perbaikan, kondisi sedang
yang perlu mendapat perhatian, serta kondisi baik yang harus dipelihara agar
tidak menjadi rusak.
c.
Survei Kondisi Lingkungan Koleksi
(Survei Fasilitas Perpustakaan)
Survei kondisi lingkungan bertujuan untuk mengidentifikasi
tindakan-tindakan preventif yang perlu diambil untuk menyelamatkan koleksi dari faktor-faktor potensial yang merusak.
Selain itu untuk mengidentifikasi langkah-langkah penanganan konservasi,
termasuk penanganan pada setiap koleksi, perkiraan biaya yang diperlukan dalam
penanganan konservasi. Selanjutnya penanganan apa yang harus didahulukan untuk
menyelamatkan koleksi.
Survei fasilitas perpustakaan meliputi bagaimana kondisi tempat
penyimpanan, ruang baca dan kondisi lingkungan, termasuk kondisi fisik tempat
penyimpanan, intensitas cahaya dan kandungan ultra violet dalam cahaya,
temperatur, kelembapan serta analisis
debu untuk mengetahui tingkat pencemaran serta perencanaan kesiapan menghadapi
bencana. Selain dari pada itu juga meneliti kondisi gedung yang berrisiko
tinggi bagi keamanan, api dan bahaya banjir.
Tujuan dari survei ini adalah untuk
menyusun perencanaan kesiapan menghadapi bencana dan kebijakan pelestarian
bahan pustaka:
1)
Pengamanan
dan Kesiapan Menghadapi Bencana
Kesiapan menghadapi suatu bencana merupakan hal yang harus dilakukan oleh
suatu perpustakaan sebagai tindakan preventif untuk menjaga kemungkinan kerusakan
koleksi baik disebabkan oleh manusia maupun oleh bencana. Hal-hal yang perlu
dipersiapkan dalam menghadapi bencana adalah: pengawasan secara periodik
terhadap kondisi peralatan pendeteksi penyebab bencana (api dan air), termasuk
peralatan untuk pemadaman api, kesiapan menghadapi pencurian dan vandalisme,
serta perlu adanya tim yang dipersiapkan untuk menghadapi bencana tersebut
Bencana adalah kecelakaan dalam berbagai skala yang dapat menyebabkan
kerusakan serius pada apa saja yang dilandanya, termasuk gedung perpustakaan
dan bahan pustaka yang ada didalamnya serta membutuhkan konsekuensi waktu yang
lama untuk pemulihannya. Bencana tersebut dapat berupa ; vandalisme, pecahnya
pipa air, udara lembab, kebakaran, salah penanganan, kebanjiran, angin ribut, gempa
bumi.
Bencana biasanya datang tak terduga dan di luar kemampuan manusia untuk
mengetahui kapan hal tersebut terjadi. Namun demikian kita harus tetap berusaha
agar kerusakan yang diakibatkan oleh
bencana ini dapat ditekan seminimal mungkin. Oleh sebab itu diperlukan adanya Perencanaan Kesiapan Menghadapi Bencana
untuk mengatasinya.
Perencanaan ini diperlukan untuk :
a)
Memperkecil risiko kerusakan agar
koleksi selalu tersedia bagi pengguna jasa perpustakaan, baik di masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
b)
Mengurangi rasa panik pada staf dan
dapat memberikan jalan keluar untuk mengatasinya.
c)
Menyediakan stok bahan dan peralatan
yang akan digunakan dalam keadaan darurat
d)
Menyediakan daftar nama orang atau
lembaga yang harus dihubungi jika terjadi keadaan darurat.
Perencanaan kesiapan menghadapi bencana merupakan bagian dari program
pelestarian bahan pustaka di setiap perpustakaan. Esensi dari perencanaan ini
disusun atas dasar pemikiran bahwa bencana dapat dan akan terjadi khususnya di
Perpustakaan. Oleh karena itu kewajiban kita untuk menyusun perencanaan ini
guna menjawab tidak hanya bagaimana cara mencegah, tetapi juga apa yang
diperbuat ketika bencana itu datang (guna meminimalkan kerusakan yang
diakibatkannya) dan langkah pemulihannya.
Secara garis
besar Perencanaan Kesiapan Menghadapi Bencana dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a)
Tahap
Pencegahan
Pencegahan termasuk tindakan untuk meminimalkan
terjadinya hal-hal yang menyebabkan terjadinya bencana (kesalahan penanganan,
api, banjir) dan untuk meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh bencana
tersebut. Contohnya : Penyiapan
peralatan penyimpanan yang sesuai akan melindungi setiap koleksi, pengamanan
terhadap bentuk mikro dan koleksi-koleksi berharga lainnya dari kerusakan yang
disebabkan oleh bencana.
b) Tahap Respons
Langkah pertama adalah membentuk Tim Respons
terhadap bencana yang anggota-anggotanya memungkinkan untuk selalu ada di
tempat pada saat bencana terjadi, melatih personel-personel tersebut dan
menyusun prosedur-prosedur reaksi terhadap bencana yang diikuti.
Mengidentifikasi
bahan perpustakaan yang diprioritaskan untuk diselamatkan terlebih dahulu.
Memasang dokumentasi-dokumentasi yang dibutuhkan, seperti denah gedung, daftar
personal dengan alamat dan nomor teleponnya yang dapat dihubungi, daftar
peralatan (beserta supplier-supplier-nya)
yang dibutuhkan selama keadaan darurat, misalnya: peti, kertas koran atau
generator dan usahakan agar daftar ini tetap “up to date”. Hal yang sangat penting adalah perencanaan menghadapi
bencana hendaknya selalu diuji dan diperbaharui secara teratur.
c)
Tahap
Reaksi
Tahap
ini dititikberatkan bagaimana kita bereaksi jika bencana benar-benar terjadi
dengan membunyikan alarm, mengumpulkan anggota tim, mengendalikan lingkungan pada
lokasi bencana, menilai kerusakan awal, mengarahkan tim, masuk kedalam lokasi
bencana dan memindahkan koleksi yang terkena bencana dan lain-lain.
d) Tahap Pemulihan
Pada tahap ini kita menyusun rencana preservasi
jangka panjang dimulai dengan pengeringan
, konservasi dan restorasi koleksi yang sudah rusak.
2) Kebijakan
Pelestarian Bahan Pustaka
Kebijakan pelestarian ditujukan untuk menentukan tujuan perpustakaan dalam strategi pengelolaan
pelestarian yang meliputi pemeliharaan, perawatan, pengawetan, perbaikan dan
reprografi. Biasanya dalam kebijakan menyangkut semua aspek pelaksanaan
pelestarian yang meliputi periode tertentu, umpamanya sepuluh tahun atau lebih. Proses penyusunan
kebijakan pelestarian dimulai dari
penelusuran, survei kondisi, survei fasilitas perpustakaan.
Menurut Commonwealth of Australia (1995), kebijakan
pelestarian merupakan suatu dokumen yang dijadikan pedoman keseluruhan dalam
menyusun program pelestarian yang tepat guna, yang antara lain mencakup:
a)
Kebijakan dalam penyimpanan dan
pengaturan kondisi lingkungan bagaimana menata dan menyimpan bahan perpustakaan
dan kondisi yang diperlukan.
b)
Kebijakan dalam pengamanan dan kesiapan
menghadapi bencana, seperti bagaimana koleksi dilindungi dari kerusakan dan
kehilangan
c)
Kebijakan dalam pengelolaan koleksi.
Bagaimana koleksi dilindungi selama digunakan, menentukan koleksi mana yang
boleh dibaca, apakah bentuk aslinya atau bentuk mikronya.
d)
Kebijakan dalam perawatan, pengawetan
dan perbaikan dan reproduksi bahan
perpustakaan. Bagaimana bahan perpustakaan tersebut dilestarikan, apakah bentuk
aslinya dikonservasi atau dialih bentuk ke media lain. Jika bentuk fisiknya
dilestarikan, metode apa yang dipakai.
e)
Kebijakan laindalam penerapan metode
pelestarian bahan perpustakaan, termasuk kebijakan lain yang relevan dalam
suatu perpustakaan, misalnya apakah dalam melaksanakan pelestarian perlu ada
penelitian untuk mengembangkan teknik konservasi.
d. Penyusunan Rencana Pelestarian Bahan Perpustakaan
Perencanaan pelestarian adalah
suatu proses yang direncanakan untuk menangani kebutuhan pemeliharaan koleksi,
menentukan skala prioritas dan sumber daya. Tujuan utama dari perencanaan ini
adalah menggambarkan suatu tindakan yang akan dilakukan oleh suatu lembaga
dalam menetapkan agenda pelestarian masa depan.
Perencanaan pelestarian jangka
panjang adalah perencanaan tertulis yang merupakan dokumen penting yang harus
dimiliki oleh suatu lembaga. Perencanaan ini merupakan kerangka untuk menetapkan tujuan dan
prioritas yang masuk akal yang dapat dijadikan
sebagai pedoman untuk melakukan prioritas pelestarian dalam jangka waktu
tertentu.
Setelah semua kegiatan dalam manajemen pelestarian ini dilakukan, maka
perlu disusun rencana pelestarian bahan perpustakaan dalam bentuk kerangka
acuan (TOR). Bagi perpustakaan yang jumlah koleksinya relatif kecil, penyusunan
rencana pelestarian bahan perpustakaan dapat dibatasi dengan menyusun kerangka
acuan sebagai berikut:
1)
Kerangka acuan mengenai pemeliharaan dan
fumigasi bahan perpustakaan.
2)
Kerangka acuan tentang konservasi bahan
perpustakaan
3)
Kerangka acuan tentang penjilidan bahan
perpustakaan
4)
Kerangka acuan tentang Alihmedia bahan
perpustakaan.
2.5 Pengorganisasian
Pelestarian Bahan Perpustakaan.
a.
Struktur
Organisasi Pelestarian Bahan Perpustakaan di Negara Maju
Library of Congres di
Amerika Serikat, National library of
Australia, British Library di
Inggeris dan Died Library di Jepang memiliki unit preservasi untuk
melestarikan koleksinya. Misalnya Library
of Congress memiliki Preservation Direktorate, yang membawahi 4 (empat)
Divisi, yaitu Collection Care Divition, Preservation Science Division,
Conservation Division and Preservation Digital. Demikian juga halnya di
National Library of Australia, mereka memiliki 2 (dua) Division, Yaitu: Digital
Preservation Division yang menangani
pelestarian informasi dan Preservation Service Division yang menangani
pelestarian fisik dan Microfilming.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa penanganan pelestarian bahan
perpustakaan di negara-negara tersebut sudah sedemikian majunya sehingga
merupakan salah satu unit inti dalam struktur organisasinya.
b.
Struktur
Organisasi Pelestarian Bahan Perpustakaan Nasional RI
Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990, Perpustakaan Nasional RI mempunyai tugas
menghimpun, menyimpan, merawat dan melestarikan hasil intelektual bangsa
sebagai karya dan warisan budaya yang tidak ternilai harganya. Sebagai
pelaksana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang serah simpan Karya Cetak dan
Karya Rekam, perpustakaan Nasional sebagai satu-satunya instansi penghimpun dan
pelestari hasil karya bangsa dengan cakupan nasional. Dengan demikian
Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Daerah merupakan gerbang terakhir untuk
menemukan koleksi indonesiana terlengkap dengan kondisi terbaik yang dapat
diakses oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun.
Dan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2007 tentang Perpustakaan, yang menyatakan bahwa fungsi Perpustakaan Nasional
sebagai perpustakaan
Pembina, penelitian, deposit, pelestarian dan pusat jejaring. Hal ini
menunjukkan bahwa Perpustakaan Nasional menaruh perhatian atas pelestarian
koleksinya. Hal ini juga sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Pusat Preservasi
Bahan Pustaka sebagai sebagai salah satu unit kerja di bawah Deputi Bidang
Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi, yaitu:
1)
Tugas Pokok Pusat Preservasi adalah
melaksanakan pelestarian fisik dan kandungan informasi bahan perpustakaan.
2)
Sedangkan fungsinya adalah:
a)
Pelaksanaan pelestarian fisik bahan
perpustakaan melalui pemeliharaan, perawatan, perbaikan dan penjilidan yang
dilaksanakan oleh Bidang Konservasi.
b)
Pelaksanaan pelestarian kandungan
informasi bahan perpustakaan melalui alih media ke bentuk mikro dam fotografi
oleh Bidang Reprografi
c)
Pelaksanaan pelestarian kandungan
informasi bahan perpustakaan melalui alih media ke bentuk digital.
c.
Tinjauan
Struktur Organisasi Pelestarian Bahan Perpustakaan di Perpustakaan Daerah
Kita mengetahui
bahwa pembentukan Badan Perpustakaan Daerah maupun Kantor Perpustakaan Daerah
berdasarkan PERDA atau Surat Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota di daerah
masing-masing. Oleh sebeb itu dalam struktur oranisasi Perpustakaan Daerah atau
Kantor Perpustakaan keberadaan unit pelestarian tergantung dari PERDA atau
Surat Keputusan Gubernur atau Surat Keputusan Bupati/Walikota tersebut.
Tidaklah heran keberadaan unit pelestarian ini kadang-kadang ada dan
kadang-kadang tidak ada sama sekali.
Kita bisa
mengambil contoh di beberapa daerah, Di Badan Perpustakaan dan Arsip Sumatra
Barat menempatkan unit pelestarian sebagai bidang (eselon III), Di Nusa Tenggara Timur
menempatkan unit pelestarian terpisah, yaitu Sub Bidang Pelestarian fisik bahan
perpustakaan ada di Bidang Layanan sedangkan Sub Bidang Alih Media berada di
Bidang Otomasi.
2.6 Pelaksanaan Pelestarian Bahan
Perpustakaan
a. Pelestarian Fisik Bahan Perpustakaan
1) Pemeliharaan dan Penyimpanan Bahan Perpustakaan
Program
pelestarian bahan perpustakaan merupakan penjabaran dari definisi yang
dikemukakan yang dikemukakan di atas. Pelaksanaan pelestarian dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Pemeliharaan
bahan perpustakaan yaitu: mengoptimalkan (mengukur, memonitor dan
mengendalikan) kondisi lingkungan: pengendalian udara (kelembapan dan udara
bersih, penggunaan AC, memonitor kebersihan
untuk memperpanjang umur bahan perpustakaan. Kondisi lingkungan yang
ideal bagi suatu perpustakaan adalah temperatur dan kelembapan yang terkontrol,
udara bersih dengan sirkulasi yang sempurna, bebas dari jamur, serangga dan
binatang pengerat. Pemeliharaan dilakukan dengan cara
membersihkan bahan pustaka dan ruangan secara teratur, keamanan yang terjamin
dan perlindungan dari banjir dan kebakaran termasuk pengendalian lingkungan
untuk melindungi bahan pustaka dari kerusakan.
Pelaksanaan
pemeliharaan dapat dilakukan sebagai berikut:
a)
Pemeliharaan
dan penanganan bahan perpustakaan:
(1) Mencegah Kerusakan Karena Pengaruh Suhu
dan Kelembapan Udara
Suhu dan kelembapan udara yang ideal bagi bahan
perpustakaan adalah 20o - 24o C dan 45 - 60 % RH. Satu-satunya cara untuk
mendapatkan kondisi seperti yang direkomendasikan oleh Ogden (http://www.nedcc.org/) adalah
memasang AC 24 jam sehari selama 7 hari dalam seminggu. Masalahnya timbul
karena tidak semua perpustakaan mampu memasang AC seperti ini karena biaya
operasionalnya besar. Jika AC dipasang hanya setengah hari saja, maka
kelembapan akan berubah-ubah. Kondisi seperti ini malah akan mempercepat
kerusakan kertas. Jika dalam suatu perpustakaan sudah terlanjur memasang AC dan
dioperasikan hanya setengah hari saja karena pertimbangan biaya, sebaiknya suhu
diatur antara 26 o -
28 o C untuk
mencegah terjadinya fluktuasi suhu udarai pada siang dan malam hari, dan suhu
tersebut cukup sejuk bagi manusia dan aman bagi bahan perpustakaan.
Jika terjadi kelembapan udara yang tinggi, dapat
diturunkan dengan dehumidifier atau
silica gel. Dehumidifier digunakan untuk
menurunkan kelembapan udara dalam ruangan yang tertutup, dan silica gel untuk
menurunkan kelembapan udara dalam lemari atau filing cabinet.
(2) Mencegah Kerusakan karena Pengaruh
Cahaya
Cahaya
matahari yang masuk ke dalam ruangan, baik langsung atau pantulan harus
dihalangi dengan gorden atau disaring dengan filter untuk mengurangi radiasi
ultra violet. Buku-buku
tidak boleh diletakkan terlalu dekat dengan jendela.Untuk mencegah kerusakan
karena cahaya lampu listrik adalah dengan memperkecil intensitas cahaya,
memperpendek waktu pencahayaan dan menghilangkan radiasi ultra violet. Untuk
menghilangkan radiasi UV dari
cahaya luar, menggunakan UV filter film yang direkatkan pada kaca
jendela dan pada lampu menggunakan UV
filter tube yang disarungkan pada lampu TL. Untuk mencegah
kerusakan oleh UV ini, Odgen (http://www.nedcc.org/, 29/03/04) memberikan rekomendasi agar kandungan UV
pada ruang penyimpanan bahan pustaka tidak lebih dari 75 µwatt/lumen.
(3) Mencegah Kerusakan Karena Pencemar Udara
:
Bahan
pencemar udara seperti gas-gas pencemar, partikel debu dan logam yang merusak
kertas dapat dikurangi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a))
Ruangan menggunakan AC, karena dalam AC
terdapat filter untuk menyaring udara
dan ruangan ber AC selalu tertutup sehingga mengurangi debu.
b))
Di dalam ruangan dipasang alat pembersih
udara (air cleaner). Di dalam alat
ini terdapat karbon aktif yang dapat menyerap gas pencemar dan terdapat filter
untuk membersihkan udara dari debu.
c))
Menyimpan buku dalam kotak pelindung.
(4) Mencegah Kerusakan Karena Faktor
Biota
Tindakan preventif untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya jamur dan
serangga adalah dengan memeriksa bahan perpustakaan secara berkala,
membersihkan tempat penyimpanan, menurunkan kelembapan udara dan buku-buku
tidak boleh disusun terlalu rapat pada rak karena menghalangi sirkulasi udara.
Untuk mencegah menularnya jamur dan serangga dari luar, sebaiknya buku-buku
yang baru dibeli atau baru diterima dari pihak lain difumigasi terlebih dahulu
sebelum disimpan bersama-sama dengan buku yang lainnya. Pada rak diletakkan
bahan-bahan yang berbau untuk mengusir
serangga seperti kapur barus, naftalen, paradichloro
benzena atau PBC.
2) Pencegahan kerusakan karena faktor manusia
Manusia merupakan perusak bahan perpustakaan yang cukup besar.Pengaruh ini
dapat bersifat tak langsung seperti pencemar udara atau mutu kertas yang rendah
yang dihasilkan oleh industri kertas dan dapat bersifat langsung seperti
kebakaran, pencurian dan salah penanganan. Kerusakan lain pada bahan
perpustakaan adalah rendahnya standar mutu penjilidan. Penggunaan AC yang tidak
kontinu malah akan mempercepat kerusakan bahan perpustakaan.
Pelaksanaan photocopy yang tidak
benar juga akan merusak bahan perpustakaan. Teknik penanganan yang salah dapat
menimbulkan kerusakan fisik. Sedangkan salah pengolahan seperti menyimpan bahan
perpustakaan pada tempat yang mengandung risiko, tidak dibersihkan secara
berkala akan menimbulkan kerusakan fisik karena kotor dan bahan perpustakaan
yang kotor disukai oleh jamur dan serangga. Kerusakan yang fatal adalah karena
lalai dalam persiapan menghadapi bencana alam.
a)
Penataan
dan Penyimpanan :
Tempat
penyimpanan yang tidak memadai dan tidak memenuhi syarat akan menyebabkan
kerusakan fisik dan kimia pada bahan perpustakaan. Tempat penyimpanan harus
terbuat dari bahan yang tidak membahayakan bahan pustaka. Rak-rak buku
harus terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar, cukup lebar untuk menyangga
buku tanpa ada bagian buku yang menonjol. Rak yang paling bawah sekurang-kurangnya
harus berada 10 cm di atas lantai untuk menjaga kemungkinan terkena air jika
ada pipa air yang bocor. Rak buku harus diletakkan pada ruangan dengan
ventilasi yang baik dan jaraknya cukup supaya dapat mengambil dan mengembalikan
buku dengan leluasa.
(1) Penataan
buku pada rak secara tegak: Penyusunan
buku pada rak-rak harus ditopang dengan kuat dan sebaiknya tidak terlalu rapat
satu sama lain. Buku-buku hendaknya tidak disusun pada rak-rak secara longgar
karena akan roboh dan menimpa satu sama lain. Penyusunan buku
pada rak sebaiknya disesuaikan agar mencukupi ruang tempat menyimpan buku.
Buku-buku hendaknya tidak disusun rapat karena akan menyulitkan pada waktu
pengambilannya. Buku-buku
hendaknya tidak ditumpuk di atas buku lainnya pada waktu menyusun di rak secara
tegak. Jenis
buku-buku yang tidak dapat diletakkan secara tegak, sebaiknya diletakkan secara
horizontal di bagian tepi rak. Dengan cara ini akan menolong agar buku tidak menjadi rusak dan akan tetap
kuat menempel. Metode penyusunan pada
rak seperti ini hanya untuk sementara waktu. Agar jilidan buku tetap baik
hendaknya tidak di susun sampai pada bagian ujung dari rak.
(2) Penataan
buku-buku secara mendatar: Bahan
perpustakaan yang disusun secara mendatar, seperti contohnya map-map tebal dan
lembaran-lembaran ukuran besar, jangan disusun bertumpuk melebihi setengah dari
tinggi tempat. Dapat juga dimasukkan ke dalam kotak yang kuat. Bahkan jika
perlu apabila hendak mengangkatnya lakukanlah secara bersama-sama untuk
menghindari kerusakan. Rak-rak berupa
laci yang dangkal dan dapat ditarik ke luar dapat digunakan untuk penyimpanan
bahan perpustakaan. Jenis rak ini
akan menjamin pemanfaatan rak secara efisien dan juga dapat menghindari
terjadinya masalah pada saat penyusunan dan pengambilan.
(3) Menyimpan
buku ukuran besar (lebar): Jangan meletakkan buku yang terlalu lebar dengan
posisi vertikal pada rak buku biasa. Dan tidak mungkin menyediakan rak khusus
untuk meletakkan buku-buku yang terlalu lebar di ruang pengolahan. Buku-buku
seperti ini harus diletakkan mendatar (direbahkan) di atas meja. Pada saat
mengambil salah satu diantaranya, buku-buku yang ada di atasnya harus
dipindahkan dulu satu persatu, kemudian setelah buku yang dimaksud diambil,
buku-buku yang dipindahkan tadi dikembalikan seperti susunan semula.
b) Penjilidan
Penjilidan yang
kurang baik sering diterapkan pada buku-buku perpustakaan tanpa
mempertimbangkan keselamatan informasi yang ada di dalamnya. Pustakawan harus
turut memikirkan apa yang dibutuhkan oleh buku dari jilidannya dan harus tahu
tipe jilidan yang baik bagi bahan pustaka. Memotong bagian pinggir buku atau
punggung buku tidak boleh dilakukan. Jilidan asli sedapat mungkin harus
dipertahankan.Semua bahan yang digunakan harus bebas asam, kuat dan stabil dan
buku dengan kertas yang sudah rapuh tidak boleh dijilid kembali.
c)
Kebersihan
Membersihkan
ruangan dan bahan perpustakaan secara teratur merupakan pekerjaan yang
penting. Staf harus diberi informasi
bagaimana cara membersihkan bahan pustaka dengan benar, karena kadang-kadang
staf tidak mengetahui caranya. Monitor terhadap program pembersihan sama
pentingnya dengan pembersihan itu sendiri. Pemeriksaan secara berkala pada
koleksi dan fasilitas penyimpanan dapat mengetahui lebih awal kerusakan baik
disebabkan oleh serangga maupun oleh kelembapan udara. Kebersihan tangan
staf dan pengguna jasa perpustakaan juga sangat penting.Tangan dan tempat kerja
harus bersih untuk menjaga agar buku tidak cepat dekil.
d) Penanganan
Cara penanganan bahan perpustakaan tidak dapat dilakukan dengan baik oleh
setiap orang, akan tetapi harus diajarkan, dibimbing dan dibiasakan. Sikap staf
adalah kunci dalam menerapkan penanganan bahan perpustakaan yang baik dan
benar.Yang lebih penting adalah sikap pengambil kebijakan yang mempunyai
komitmen bahwa pelestarian adalah bagian integral dari misi perpustakaan.
Penanganan bahan perpustakaan yang baik dan benar adalah program
pelestarian yang murah.Melatih staf dan pengguna jasa perpustakaan adalah
pekerjaan yang relatif mudah. Hal ini juga akan menghemat dana untuk
memperbaiki dan merawat koleksi yang rusak.
(1)
Sampul/kulit (Cover) buku adalah untuk
melindungi blok (teks) buku dari kerusakan fisik. Buku baru atau buku yang
dijilid kembali harus dibuka secara hati-hati. Buku tidak boleh dibiarkan
tertelungkup, dan jilidan tidak boleh ditekan. Tidak boleh menggunakan karet
gelang untuk mengikat buku dan tidak boleh menggunakan selotape untuk menambal
buku yang robek.
(2)
Reproduksi
: Kegiatan reproduksi seperti reprografi, fotografi,photocopy dan digitalisasi merupakan usaha pelestarian informasi
bahan perpustakaan,namun pelaksanaan yang kurang hati-hati akan dapat
menimbulkan kerusakan fisik bahan perpustakaan, seperti jilidan buku menjadi
rusak dan bahan pustaka yang rapuh menjadi hancur.
e) Pencurian dan Vandalisme :Yang tidak kalah pentingnya dari program
pelestarian bahan perpustakaan adalah keamanan dari pencurian dan pengrusakan.
Prosedur pengamanan dapat dilakukan dengan cara pengawasan dalam ruang baca,
pemeriksaan tas, pemasangan detektor pada pintu ruang baca dan lain-lain.
f) Tindakan lain dalam pemeliharaan bahan perpustakaan adalah dengan meng-implementasikan kebijakan pelestarian yang mencakup pelatihan,
membangun kesadaran pelestarian bahan pustaka dan adanya staf yang profesional
yang menangani pelestarian, pembentukan tim kesiapan menghadapi bencana serta
mengadakan pelatihan untuk mengadakan respons terhadap kemungkinan adanya
bencana.
b. Perawatan dan Perbaikan Bahan Perpustakaan
Kerusakan bahan perpustakaan adalah suatu fenomena kompleks yang timbul dari
berbagai pengaruh yang menyebabkannya. Pada umumnya kerusakan ini dapat berupa:
kertas keriput, rapuh, lengket, robek, hilang sebagian, keasaman, adanya noda,
adanya jamur, diserang serangga, warna tinta memudar, warna kertas menjadi
kuning kecokelatan,
dan lain-lainnya.
Pemulihan bentuk
dan kekuatan kertas bahan perpustakaan dilakukan sebagai upaya perbaikan yang disesuaikan dengan
bentuk kerusakan yang terjadi. Jenis perbaikan kertas bahan perpustakaan tersebut
meliputi menambal, menyambung, lining dan laminasi. Sebelum perbaikan
dilakukan, hendaknya bahan perpustakaan telah mengalami penanganan diantaranya
fumigasi, pembersihan debu dan noda, pemutihan
(bleaching) dan deasidifikasi
(untuk menetralkan asam).
1) Membersihkan
debu
Salah satu cara pemeliharaan bahan perpustakaan yang
penting adalah menyimpan di tempat yang
bersih dan bebas dari debu. Apabila bahan perpustakaan sudah kotor oleh debu,
hendaknya dibersihkan sesuai dengan prosedur yang benar dan dilakukan secara
teratur oleh staf yang terlatih agar tidak menimbulkan kerusakan pada bahan
perpustakaan.
Memelihara bahan perpustakaan dalam kondisi yang bersih
akan memberikan dampak yang luas, yaitu bahan perpustakaan tidak mudah rusak,
staf dan pengguna jasa akan senang mengolah dan membaca, serta kesehatan mereka
tidak terganggu karena pengaruh debu dan asam.
Kerusakan bahan perpustakaan yang akan terjadi karena
pengaruh debu diantaranya adalah sebagai berikut :
a)
Mengurangi nilai estetika, karena debu
akan memperburuk dan mengaburkan informasi pada cetakan, foto dan
mikrofilm/mikrofis.
b)
Partikel debu akan menimbulkan goresan
pada microfilm/ mikrofis, negatif foto, lukisan dan dokumen berharga lainnya.
c)
Kertas yang kotor oleh debu akan
cenderung menimbulkan noda jika kertas tersebut terkena air dan udara lembap.
d)
Debu akan menyebabkan kertas menjadi
asam, karena debu biasanya bercampur dengan pencemar udara lainnya terutama
yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar minyak bumi. Asam ini akan
menyebabkan kertas menjadi rapuh dan akan merusak lapisan emulsi pada negatif
foto dan microfilm/mikrofis.
Ada dua cara membersihkan bahan perpustakaan, yaitu cara basah dan cara kering. Cara basah tidak akan dijelaskan
dalam buku ini, karena pekerjaan ini harus dilakukan oleh staf yang telah
mendapat pendidikan dan pelatihan dalam bidang konservasi.
Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk membersihkan debu pada bahan
perpustakaan. Cara yang dipilih harus mempertimbangkan kondisi bahan
perpustakaan, antara lain: kekuatan kertas, ketebalan kertas, kerapian sisi
blok buku (terutama sisi kepala buku) atau ketebalan debu yang menempel pada
bahan perpustakaan.
Peralatan yang diperlukan dalam membersihkan debu adalah : kuas, vacuumcleaner, karet penghapus, bubuk
penghapus, hand press, masker debu,
penutup kepala dan lain-lain.
2) Pembasmian
serangga dan jamur
Ada beberapa metode pembasmian, yaitu:
a)
Dengan suntikan (injeksi): cara ini
bersifat pencegahan agar serangga, terutama rayap tidak menyerang bahan pustaka
dan fasilitas perpustakaan. Kusen pintu dan jendela dan lantai bangunan harus
disterilkan dari rayap dengan jalan menyuntikkan bahan beracun pembasmi
serangga untuk mencegah dan mematikan rayap.
b)
Dengan Penyemprotan: Untuk mencegah agar
bahan perpustakaan tidak diserang oleh serangga dan jamur, maka ruangan dalam
perpustakaan harus disterilkan dengan menyemprotkan larutan pembasmi serangga
dan jamur pada sudut-sudut ruangan dan rak-rak buku. Jika pada bahan
perpustakaan sudah terlanjur diserang oleh rayap, maka bahan pustaka tersebut
harus disemprotkan dengan bahan pembasmi rayap yang dilarutkan dalam alkohol.
c)
Fumigasi: Fumigasi bahan perpustakaan
adalah mengasapkan gas beracun pada bahan perpustakaan untuk membasmi serangga
dan jamur. Bahan yang digunakan disebut fumigant,
yang terdiri dari: methyl bromide, thymol
cristel, formaldehyde (formalin), carbon tetra chloride, carbon disulfide,
phosphine. Thymol crystal dan formalin adalah bahan untuk membasmi jamur,
sedangkan yang lainnya untuk membasmi serangga.
3) Menghilangkan Selotape
Selotape yang digunakan sebagai
perekat pada kertas atau buku harus dihilangkan karena bahan perekat pada selotape ini bersifat asam. Biasanya
warna kertas akan berubah menjadi kuning
kecokelatan pada daerah yang ditempelkan dengan selotape ini. Plastik pada selotape dapat dilepas dengan pelarut
organik atau taking iron.
4) Enkapsulasi
Enkapsulasi adalah cara
memperkuat kertas/dokumen untuk menghindarkan kerusakan fisik Pada proses
enkapsulasi inisetiap lembar kertas/dokumen dilapisi/diapit dengan dua lembar
plastik film polyester yang pada
bagian pinggir plastik dilekatkan dengan double
sided tape.
5) Menambal/Menyambung
Menambal adalah menutup bagian bahan pustaka yang berlubang dengan japanese tissue paper, bubur kertas atau
kertas tissue berperekat. Bahan perekat yang umum digunakan adalah campuran
kanji dan methyl cellulose.Menambal
dilakukan untuk merekatkan bagian yang robek atau patah karena lipatan dengan
kertas tissue dengan perekat seperti tersebut di atas.
Menyambung
dilakukan untuk merekatkan bagian yang sobek atau patah karena lipatan,
biasanya diperkuat dengan potongan kertas dari jenis tertentu, agar bagian yang
sobek tidak bertambah lebar. Menyambung juga dapat dilakukan dengan
kertas Jepang, hand
made, bubur kertas dengan perekat kanji dan CMC. Proses
menyambung dilakukan hampir sama dengan proses menambal.
6) Memperkuat
kertas
Beberapa metode
dapat dipertimbangkan untuk memperkuat kertas rapuh, rusak dan kertas yang
rusak terkena udara lembap atau
air dimana tidak ada local treatment
atau metode penguat serat seperti sizing yang memuaskan. Keputusan apakah
memperkuat kertas dengan restorasi dalam kasus ini bergantung dari beberapa
faktor; Pertama: koleksi itu sendiri :
1)
Jenis koleksi itu sendiri, naskah, karya
cetak atau ilustrasi.
2)
Kertas tersebut ditulis, dicetak atau
digambar pada satu muka atau bolak balik.
3)
Fungsi dari koleksi tersebut, sumber
informasi atau benda seni.
Teknik
memperkuat kertas dapat dibedakan menjadi lima metode, yaitu : lining, embedding,
laminasi, leafcasting, paper splitting.
7) Memperbaiki jilidan
Memperbaiki jilidan bahan pustaka
merupakan salah satu upaya melestarikan bentuk fisik agar dapat memperpanjang
usia pakai bahan pustaka tersebut. Pada umumnya tindakan perbaikan jilidan
selalu ada hubungannya dengan kerusakan pada jilidan buku, baik yang
berhubungan dengan kekuatan sistem penjilidan maupun kerusakan-kerusakan pada
bagian tertentu seperti lembar pelindung, engsel buku, punggung buku dan sampul
buku. Perbaikan yang dapat dilakukan secara sederhana adalah dengan memperkuat
engsel yang longgar, mengganti lembar pelindung yang robek atau sudah berubah
warna menjadi kuning kecokelatan, menempel linen baru pada punggung buku atau
memperbaiki kembali punggung sampul buku.
c. Pelestarian Kandungan Informasi.
Alih media bahan
pustaka merupakan salah satu dari strategi perpustakaan dalam melestarikan
koleksinya, terutama koleksi khusus seperti naskah, surat kabar, peta dan buku
langka. Koleksi bahan pustaka dalam bentuk teks atau gambar dapat dialih
mediakan menjadi 4 bentuk, yaitu: 1). Alih media ke dalam bentuk mikro; 2).
Transformasi digital; 3). Fotografi dan 4). Foto kopi.
Alih media ke
bentuk mikro dan transformasi digital merupakan strategi yang banyak dipilih
oleh perpustakaan, arsip maupun museum di seluruh dunia, karena keduanya
memberikan sejumlah pendekatan alternatif untuk keperluan yang berbeda, atara lain sebagai
contoh: bentuk mikro dapat memberikan berbagai format dalam bentuk hitam putih
atau berwarna, sedangkan transformasi digital selain memberikan hitam putih dan
berwarna juga dengan resolusi rendah, sedang atau tinggi dapat diakses secara online.
1)
Alih
media Bahan Perpustakaan Konvensional ke Bentuk Digital
Kunci keberhasilan dari upaya alih media digital adalah
dilakukan secara berkelanjutan dengan
memahami beberapa konsep berikut, yaitu:
(a)
Melindungi
Sumber Asli. Hal yang
umum dalam penerapan teknologi digital dalam perpustakaan adalah membuat
salinan digital yang dapat digunakan sebagai pengganti sumber aslinya. Tujuan
dari pelestarian ini karena adanya keterbatasan terhadap akses terhadap sumber
aslinya. Sebagai contoh file digital
koleksi gambar dan foto disediakan untuk kebutuhan penelitian dapat dilakukan
tanpa harus mengakses sumber gambar aslinya. Sehingga peminjaman sumber asli
dokumen, buku atau gambar dapat dihentikan untuk menghindari kerusakan atau
kehilangan.
(b)
Mewakili
Sumber Asli. Produk digital
haruslah dibuat untuk dapat mewakili dari informasi dari sumber aslinya
sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian misalnya. Sistem yang
dibuat dengan resolusi yang tinggi memungkinkan untuk menyediakan informasi
sama persis dengan sumber aslinya tanpa adanya risiko kerusakan atau
kehilangan.
(c)
Melebihi
Sumber Asli. Dengan adanya
teknologi digital akan memudahkan kebutuhan setiap pemustaka terhadap informasi
secara lebih detail. Dimana melalui sumber aslinya tidak mungkin untuk dilakukan.
Contohnya, melalui paduan teknologi pencahayaan resolusi tinggi dapat lebih
menggambarkan secara detail mengenai usia, penggunaan dan kerusakan fisik
terhadap benda (artifact) aslinya. Juga untuk produk digital yang dapat
dikombinasikan dengan fungsi sistem rekayasa dan disebarluaskan secara luas
melalui mesin pencari (search engine) akan
memiliki nilai
kegunaan lebih bagi setiap penggunanya sebagai bahan materi penelitian ilmiah
atau untuk kebutuhan lainnya.
(d)
Kemampuan
Teknologi Yang Digunakan. Kunci
keberhasilan lainnya untuk mempermudah proses alih media digital adalah dengan
mengukur kemampuan alat atau teknologi yang digunakan, termasuk perangkat keras
(hardware) dan perangkat lunak (software) yang berhubungan dengan
dokumen atau hasil produk yang dimaksud. Terdapat cukup banyak pilihan cara
dalam menerapkan teknologi alih media, hal ini tergantung dari besarnya biaya
dan kemampuan yang dapat dilakukan oleh sistem atau perangkat tersebut. Walau
demikian terdapat keterbatasan kemampuan untuk melakukan proses alih media
tergantung dari format ukuran sumber materi dan nilai resolusi yang tersedia.
Dari ketiga hubungan yang disebutkan antara kebutuhan produk yang dihasilkan,
karakteristik sumber asli dan kemampuan teknologi hal ini akan mempengaruhi terhadap nilai
kualitas, biaya dan bagaimana cara untuk mengaksesnya.
2) Prinsip
dasar proses alih media adalah
memperpanjang usia pakai atau kegunaan dari sumber informasi yang
tersedia. Terdapat beberapa istilah dari perubahan prinsip-prinsip dasar yang
dimaksud yaitu preservasi alih media memiliki kelebihan berusia panjang (longevity), seleksi (choice), kualitas (quality), keutuhan (integrity),
dan mudah diakses (accessibility).
(a) Berusia Panjang (longevity).
Perhatian
utama dari upaya pelestarian bahan
perpustakaan adalah melakukan pemeliharaan, perawatan dan perbaikan terhadap
media tempat informasi tersebut disimpan. Bagaimana media seperti kertas, film
dan pita magnetic dapat lebih tahan lama dengan cara menstabilkan struktur
media dan menghindari hal-hal yang mempengaruhi kerusakan dari pihak dalam
maupun luar.
Upaya
pelestarian dalam ruang lingkup digital difokuskan kepada bagaimana
mempertahankan usia pemakaian dari media cakram (disk) atau media penyimpanan data yang cukup rentan secara fisik. Kelangsungan
hidup dari file digital yang tersimpan tergantung pada seberapa jauh kemampuan
akses sistem yang tersedia. Sehingga para pengembang produk digital harus bisa
mengantisipasi setiap file, indeks data dan software
untuk disimpan dalam media yang lebih profesional dengan dukungan teknologi
terkini sehingga lebih menjamin kelangsungan usia penyimpanannya.
(b) Seleksi (Choice).
Seleksi dalam ruang lingkup
digital bukan merupakan pilihan untuk membuat satu kali produk dan diperuntukan
untuk semua hingga mendekati masa pemakaian akhir, namun lebih ke arah proses
yang berkesinambungan yang terhubung dengan baik sekali dengan aktivitas
penggunaan file digital yang dimaksud.
Pemberian
nilai diperoleh ketika membuat keputusan untuk melakukan proses alih media
dokumen seperti kertas atau film ke dalam bentuk digital yang dapat dijalankan
melalui sistem yang benar-benar sesuai (valid).
Namun
ketika keputusan pemberian nilai tidak dapat dilakukan secara otomatis atau
pada saat terjadi kevakuman, para pustakawan dan arsiparis dapat menentukan
sendiri yang mana buku, artikel, foto, film atau sumber materi lainnya yang
akan dialihmediakan ke dalam format digital.
(c) Kualitas (Quality).
Memaksimalkan
kualitas perlu diterapkan pada setiap aktivitas proses preservasi dan secara
tidak langsung menjadi prinsip dasar setiap orang yang akan melakukannya. Dalam
proses preservasi secara analog telah lazim dilakukan dalam memperhatikan
kualitas dalam setiap aktivitas seperti penerapan aturan standar penjilidan
bahan pustaka, petunjuk pembuatan arsip mikrofilm, prosedur pengawetan bahan pustaka, pemilihan
bahan dan material yang baik, dan menghindari seminim mungkin kesalahan teknis
yang dilakukan.
Dalam
ruang lingkup digital upaya memaksimalkan kualitas secara signifikan dibatasi
oleh teknologi untuk pengambilan (capture)
dan menampilkan (display) gambar pada
media elektronik yang digunakan. Proses alih media digital yang dilakukan
dengan memperhatikan kualitas yang baik adalah mampu memberikan tampilan yang
tidak beda jauh dengan sumber aslinya dengan sentuhan teknologi yang digunakan.
Pada
intinya tujuan dari menentukan kualitas pada proses preservasi digital adalah
bagaimana melakukan pengambilan visual dengan teknik tertentu dari seluruh isi materi dan dapat memberikan
hasilnya dengan baik kepada banyak pengguna yang benar-benar
membutuhkannya.
Kata
kuncinya setiap pengembang produk digital, dalam hal ini para pustakawan dan
arsiparis, harus dapat menjadikan nilai kualitas sebagai jantung dan jiwa dalam
melakukan upaya proses preservasi. Namun di sisi yang lain kehandalan perangkat pendukung berupa hardware dan software dari industri produk yang digunakan juga sangat
menentukan.
(d) Keutuhan (Integrity),
Makna
dari keutuhan dalam melakukan proses preservasi secara tradisional terdiri dari
dua konteks yaitu kondisi fisik dan nilai intelektual yang dimiliki.
Keduanya saling berhubungan menyangkut terhadap isi (content) dari sumber dokumen yang dimaksud. Keutuhan secara kondisi fisik secara umum
menyangkut terhadap perlakuan benda, yang dilakukan oleh staf di studio kerja
seperti keahlian melakukan penjilidan, merekatkan lem, menggunakan bahan yang berkualitas untuk
melindungi sumber materi, dan teknik perawatan lainnya.
Sedangkan
makna keutuhan dari nilai intelektual adalah berhubungan dengan kebenaran dan
keaslian terhadap isi sumber dokumen tersebut. Dalam ruang
lingkup digital arti keutuhan kondisi fisik berhubungan dengan media
penyimpanan file digital yang telah terkompresi secara matematis dan tersimpan
dengan berbagai variasi format serta mampu dikirim melalui jaringan komputer
yang ada. Sedangkan arti dari keutuhan nilai intelektual mencakup kepada
struktur indeks dan deskripsi data yang dapat dipublikasikan sebagai daftar isi
atau sebagai subjek pencarian kata kunci, atau rekaman bibliografis yang
berhubungan dengan file digital yang dimaksud.
(e) Dapat diakses (Accessibility).
Dalam ruang
lingkup digital saat ini upaya preservasi dan cara mengakses hasilnya merupakan
suatu paduan yang tidak bisa dipisahkan. Hasil dari proses preservasi merupakan
sesuatu yang bernilai tinggi, diproteksi dengan baik melalui sistem dan
terintegrasi sepenuhnya menjadi sebuah produk digital yang berdiri sendiri yang
dihasilkan dari sumber dokumen aslinya.
Perangkat keras
dan lunak yang digunakan untuk mengakses produk digital yang dihasilkan sudah
beragam dan mudah untuk diperoleh. Bahkan beberapa vendor mencoba membuat
fasilitas sistem yang sesuai dengan kebutuhan para pustakawan dan arsiparis
secara khusus, yang pada akhirnya dapat memudahkan bagi penggunanya untuk
mengakses secara elektronik tanpa batasan ruang dan waktu.
3)
Hak
Cipta (copyright)
Hak kekayaan intelektual (HAKI) yang salah satunya
terdiri dari perlindungan hak cipta (copyright)
merupakan suatu aturan yang diatur oleh undang-undang negara dalam melindungi
siapa saja secara hukum atas hasil karya atau produk yang dipublikasikan secara
luas di lingkungan masyarakat.
Dalam hubungannya dengan proses alih media digital adalah
bagaimana setiap lembaga atau institusi memastikan terlebih dahulu status dari
kepemilikan atau hak cipta dari sumber materi yang akan dialihmediakan. Bila
kenyataannya lembaga tersebut bukan pemilik dari hak cipta sumber materi yang
akan dialihmediakan maka terdapat dua opsi yang bisa dilakukan;
(a)
Membatalkan rencana untuk melakukan
proses alih media,
(b)
Meminta ijin secara formal kepada
pemilik hak cipta yang bersangkutan, dan bila diijinkan dapat dilakukan proses
alih media dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Namun bila batas durasi waktu perlindungan hak cipta
sudah habis maka secara otomatis sumber materi atau hasil karya tersebut
menjadi hak milik masyarakat (public
domain) sehingga siapa pun dapat dengan bebas untuk melakukan proses
alihmedia dan dipublikasikan kembali.
4)
Tujuan
Alih Media digital Bahan Perpustakaan
Dengan adanya Alih media ke bentuk digital koleksi bahan perpustakaan akan:
(a)
Memungkinkan pemustaka dengan
mengabaikan tempat untuk mengakses secaralangsung informasi yang berhubungan
dengan Indonesia melalui koleksi digital.
(b)
Mempromosikan informasi yang berhubungan
dengan Indonesia kepada siapasaja yang bisa mengakses koleksi Perpustakaan
Nasional RI dari
luar negeri.
(c)
Membangun kerjasama dengan
lembaga-Iembaga lain untuk memperkaya koleksidigital, terutama informasi
digital mengenai Indonesia.
(d)
Meningkatkan akses dan membantu
melestarikan koleksi langka dan yang mudah rusak dengan
menyediakan informasi digital.
5)
Koleksi Bahan Perpustakaan Yang Akan
dialih Mediakan ke Bentuk Digital
Koleksi akan dipilih untuk digitalisasi didasarkan pada
sejumlah pertimbangan. Perpustakaan Nasional bermaksud akan melaksanakan alih media ke
bentuk digital koleksinya, termasuk suara dan gambar dan teks sehingga koleksi
bahan perpustakaan dapat menjangkau para pemustaka secara luas.
Kegiatan alih media ke bentuk digital di Perpustakaan
Nasional RI akan
dilaksanakan disesuaikan dengan UU Hak Cipta. Bila memungkinkan izin pelaksanaan alih media
ke bentuk digital akan dirundingkan bila bahan tersebut sangat dibutuhkan.
Kegiatan alih media ke bentuk digital koleksi bahan perpustakaan difokuskan pada
bahan yang bebas larangan hak cipta, seperti manuskrip, koran lama, buku
langka dan lain-lain
Pusat Preservasi Bahan Pustaka dapat melaksanakan
kegiatan-kegiatan alih media ke bentuk digitalkoleksi bahan perpustakaan
berbentuk foto dan pamflet dan lain-lain. Kegiatan-kegiatanyang bersifat
tematis melibatkan pustakawan yang berada di Perpustakaan Nasional RI, karena
kegiatan yang bersifat tematis ini pasti melibatkan sejumlah pustakawan untuk
mencari informasi dari bahan-bahan yang terkait dalam koleksi dan menuntut suatu
keterkaitan sumber daya yang lebih besar untuk mendapatkan koleksi digital
yang lengkap.
Kriteria Seleksi Koleksi yang Akan
Digitalkan
Perencanaan
kegiatan alihmedia ke bentuk digital
koleksi bahan perpustakaan menggunakan kriteria untuk memenuhi
prinsip-prinsip yang digariskan di atas sebagai berikut:
a) Kegiatan alih
media ke bentuk digital akan meningkatkan akses terhadap koleksi, meliputi:
(1)
Koleksi bersejarah atau informasi
intelektual yang merupakan koleksi bendabudaya Nasional, termasuk koleksi
dengan permintaan yang tinggi atau sedang.
(2)
Koleksi yang tidak dilayankan
berhubungan dengan pertimbangan pengawetan atau keamanan.
(3)
Koleksi yang relatif tidak dikenal atau
tidak pernah diakses, dengan alih media ke bentuk digital diharapkan dapat
meningkatkan permintaan dan minat akan koleksi tersebut.
(4)
Kegiatan alih media digital koleksi
bahan perpustakaan merupakan pengembangan pada Pusat Preservasi Bahan
Pustaka. Hal ini dapat disadari bahwa Pusat Preservasi tidakakan mampu
kebutuhan akan pelestarian bahan pustaka asli, digitalisasi akan membantu
tujuan-tujuan pelestarian dengan mengurangi akses pada bahan perpustakaan asli
yang mengandung risiko kerusakan.
(5)
Kegiatan alihmedia digital koleksi bahan
perpustakaan akan meningkatkan daya guna koleksi. Hal ini disebabkan karena:
(a)
Koleksi dalam bentuk digital akan lebih
mudah untuk dikendalikan dan ditangani jika dibandingkan dengan bahan asli.
(b)
Koleksi dalam bentuk digital dapat
diakses dengan berbagai cara.
6)
Akses
Kepada Koleksi Digital
Perpustakaan akan menggunakan pendekatan yang yang baru
untuk menjamin akan tingkatan-tingkatan akses yang seluas mungkin terhadap
koleksi digital yang tersedia. Koleksi digital akan disusun dengan cara yang
mudah bagi para pemustaka untukmengakses dan mengendalikan. Koleksi akan
dihubungkan dengan rekamankatalog, pangkalan data bibliografi nasional atau
bantuan temuan lain sehingga tepat fasilitas temu balik dalam pencarian koleksi bagi pemustaka
ditelusur menurut jenis bahan akan
disediakan.
Alat penelusuran yang sederhana dan yang modern akan disediakan untuk
para pemustaka untuk mendapatkan informasi yang mudah dimengerti dan para
peneliti yang maju yang barangkali membutuhkan fasilitas penelusuran yang
canggih.
Agar
memperoleh keuntungan yang paling tinggi dari prakarsa alih media digital,
perpustakaan akan meluncurkan pengindeksan, kiriman koleksi digital metadata yang
dikeluarkan pada permulaan proses perencanaan alih media digital koleksi.
7)
Standar
Koleksi Digital
Perpustakaan bertanggung jawab untuk mempertahankan
ukuran/standar yang sesuai dengan pengelolaan bahan informasi akses bagi
pemustaka dan preservasi jangka panjang dari koleksi digital tergantung pada
ukuran/standar yang cocok. Oleh sebab itu perpustakaan akan taat pada
standar yang mapan dan diterima secara internasional. Bilamana standar yang sesuai tidak ada,
perpustakaan akan melakukan identifikasi dan mengadopsi
praktik-praktik internasional
yang terbaik. Dalam kasus dimana prioritas bisnis menuntutnya perpustakaan juga akan
menetapkan praktik yang terbaik dan menyumbangkannya bagi pengembangan standar
metadata preservasi
dan alat pengenal yang tetap. Prioritas membimbing kegiatan
pengembangan standar perpustakaan agar sesuai dengan semua yang digariskan dalam
rencana kerja kelompok
kegiatan standar perpustakaan.
Koleksi yang akan dialihmediakan ke bentuk digital
diputuskan sesuai dengan seleksi bahan tersebut dan jenis penggunaannya dibuat
semenarik mungkin. Teknologi yang akan digunakan yang memberikan tingkat yang
paling tinggi dan akses yang mutakhir dan fleksibilitas di masa depan untuk
memanfaatkan teknologi yang ada.
8)
Pengaturan
Alur Kerja (workflow)
Tahap ketiga
(setelah menentukan tujuan dan perencanaan proyek) merupakan tahap akhir dari
proses manajemen proyek adalah melakukan impelementasi. Pada tahap ini mulai
dilakukan eksekusi teknis terhadap proses alih media digital.
Beberapa
aktivitas yang lazim dilakukan pada saat implementasi adalah sebagai berikut :
a)
Mengumpulkan dan menyeleksi sumber
materi bahan pustaka yang akan dilakukan proses alih media digital. Untuk
memeroleh sumber materi bahan pustaka bisa diperoleh dari pihak internal dan
eksternal institusi :
b)
Melakukan klarifikasi hak cipta (copyright) dan kepemilikan dari sumber
materi bahan pustaka yang akan diproses. Bila sudah merupakan public domain atau kepemilikan dari
institusi sendiri maka tidak perlu lagi dilakukan proses perijinan tertulis
terhadap penulis/pengarang atau penerbit yang bersangkutan. Seperti halnya yang
dilakukan oleh transformasi
digital perpustakaan nasional RI, terdapat jenis koleksi naskah kuno (manuscript), buku langka, dan foto
bersejarah.
c)
Memeriksa kondisi fisik dari sumber
bahan perpustakaan. Apabila terdapat kerusakan atau akan berdampak buruk bagi
sumber materi apabila dilakukan proses alih media, misalnya bila naskah
tersebut dilakukan scanning maka kondisi
kertas aslinya akan seperti terbakar karena pengaruh dari radiasi cahaya yang
ditimbulkan. Agar tidak terjadi demikian perlu diberikan tambahan kertas khusus
yang memiliki tingkat keasaman yang sesuai dengan cara ditempelkan pada naskah
yang bersangkutan. Atau pengaruh kerusakan fisik lainnya yang harus dilakukan
proses perbaikan. Dalam melakukan proses konservasi ini bisa dilakukan bekerja sama dengan
divisi khusus yang menangani hal ini.
d)
Setiap sumber koleksi yang sudah
terkumpul dilakukan pencatatan data bibliografi agar mengetahui secara pasti
jumlah dan statusnya.
e)
Melakukan proses alih media, seperti scanning terhadap lembaran naskah dan
foto dalam bentuk tercetak atau dari sumber slide dan microfilm. Untuk sumber
bahan pustaka dalam bentuk tiga dimensi dilakukan pemotretan dengan menggunakan kamera
digital. Begitu pula bahan pustaka rekaman audio dan video dilakukan dengan
menggunakan peralatan dan aplikasi yang mendukung. Mengenai ketentuan standar
teknis dan perangkat apa yang diperlukan akan dibahas pada bab selanjutnya.
f)
Dari hasil proses alih media atau scanning diperoleh hasil file digital
dengan resolusi cukup tinggi sehingga dimanfaatkan sebagai file
master.Selanjutnya untuk keperluan editing dan publikasi dilakukan proses
konversi kedalam jenis file yang sesuai, misalnya dari bentuk file master yang
berformat TIFF atau RAW disalin menjadi format JPEG atau GIF. Begitu pula untuk
format WAV pada audio menjadi MP3, dan format AVI pada video menjadi MPEG atau
WMV. Mengenai aturan format standar konversi file akan dibahas pada bab selanjutnya.
g)
Melakukan proses pengeditan file digital
berupa gambar, audio dan video untuk keperluan pengemasan dan publikasi.
Pengeditan dilakukan dengan bantuan aplikasi khusus seperti Adobe Photoshop dan
Macromedia. Dalam proses pengeditan ini biasanya dilakukan penyesuaian ukuran (resizing), menyesuaikan kepekatan warna
dan kekontrasan (color depth &
contrast), membersihkan area tertentu bila terdapat noda kotoran atau
pengaruh lainnya dari hasil proses alih media.
h)
Pemberian watermark perlu dilakukan pada setiap image yang dihasilkan dengan
menambahkan logo dengan tingkat transparansi tertentu. Beberapa kriteria yang
dilakukan dalam proses pemberian watermark adalah sebagai berikut :
(1)
Kekuatan gambar (robustness). artinya logo yang digunakan sebagai watermark tidak mudah dihapus atau
dimanipulasi tanpa mengubah secara ekstrim dari file dokumen atau gambar yang
dimaksud.
(2)
Tidak kelihatan (imperceptible). Artinya gambar watermark yang digunakan tidak perlu
kelihatan wujudnya sehingga tidak mempengaruhi tampilan atau estetika dari
sumber dokumen aslinya. Saat ini ada beberapa teknik yang bisa diterapkan
misalnya dengan menggunakan teknologi holografi atau hologram.
(3)
Keamanan (security). Artinya setiap orang yang tidak memiliki wewenang tidak
akan tahu dan tidak bisa mengubah terhadap dokumen yang diberikan watermark. Pemberian watermark atau digital sign dimaksudkan adanya keaslian sumber dokumen atau dapat
dipercaya. Yang menjadi parameter tersebut
tergantung pada keahlian (skill),
keaslian (authentic) dan keutuhan (integrity).
i)
Melakukan kompilasi file dari setiap
judul yang terdiri dari beberapa halaman naskah atau dokumen yang telah
dilakukan pengeditan dan pemberian watermark. Format kompilasi yang dilakukan
bisa beragam tergantung dari kebutuhan, misalnya dalam format PDF untuk dokumen
teks dan gambar atau format MPEG atau FLV untuk audio dan video.
j)
Melakukan proses input metadata dan upload file digital melalui perpustakaan digital atau
sistem manajemen data digital. Hal ini diperlukan untuk merekam setiap koleksi
file digital yang telah dihasilkan. Melalui sistem ini dimaksudkan untuk dapat
melakukan manajemen file digital sehingga akan diketahui secara pasti setiap
perkembangan hasil pekerjaan alih media dengan dilengkapi fungsi indeks dan search engine (mesin pencari) sebagai
alat penelusuran atau temu kembali koleksi dokumen yang dimaksud.
k)
Melakukan proses pengemasan dan
publikasi terhadap file digital yang dihasilkan ke dalam media yang dapat
diakses secara mudah oleh para penggunanya. Bentuk pengemasan yang lazim
dilakukan adalah menggunakan media cakram (disk) seperti CD/DVD ROM yang dapat
diakses secara stand-alone oleh
penggunanya. Untuk akses yang tidak terbatas dilakukan publikasi melalui
jaringan web (internet) secara online
dengan rancangan tampilan halaman web dan animasi multimedia yang disesuaikan
dengan kebutuhan.
2)
Alih
Media Bahan Perpustakaan Konvensional ke Bentuk Mikro
Tujuan utama pembuatan bentuk mikro di
perpustakaan adalah untuk pelestarian dan memperlancar kegiatan layanan. Karena
alasan tersebut, maka dibuat bentuk mikro dalam 3 generasi, yaitu: kamera
negatif (master negatif), duplikat master negatif dan bentuk mikro positif (positive
use copy). Master negatif dapat dipakai untuk memproduksi duplikat master
negatif untuk keperluan perpustakaan lain dan membuat reproduksi bentuk mikro
untuk keperluan layanan. Bentuk mikro positif dipakai untuk keperluan layanan
sehingga manuskrip yang kondisinya sudah rapuh tidak diperkenankan untuk
dipinjam (dibaca) kecuali untuk penelitian filologi. Master negatif harus
disimpan terpisah dari dari bentuk mikro hasil regenerasi dengan kondisi lingkungan
yang konstan.
Pelestarian
bentuk mikro dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:
(a)
Sebagai pengganti koleksi yang sudah
rapuh atau diserang serangga yang kandungan informasinya merupakan pertimbangan
utama.
(b)
Sebagai perlindungan bagi koleksi yang
asli untuk mencegah kerusakan karena digunakan.
(c)
Memperhitungkan kebutuhan pengguna, baik
sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
(d)
Copy dari bentuk mikro hasil pembelian
atau hibah tidak sesuai dengan standar
(e)
Mengganti bentuk mikro yang rusak.
(f)
Sebagai pengaman bagi koleksi yang harga
dan kegunaannya bernilai tinggi.
Dana yang dipakai
investasi di dalam pembuatan bentuk mikro dapat dipertanggung jawabkan untuk menjaminnya, satu
kali bahan pustaka dibuatkan bentuk mikronya, master negative disimpan di dalam
ruang penyimpanan yang memenuhi standar dan kopinya akan dilayankan kepada pengguna dan bahan aslinya
disimpan.
(a)
Tipe dan
Komposisi Bentuk Mikro
Jenis media bentuk mikro berkembang dari
jenis film selulose nitrat, selulose asetat sampai kepada polyester. Film selulose
nitrat sangat mudah terbakar, setiap saat mengeluarkan gas yang sangat
berbahaya dan mengakibatkan terjadinya dekomposisi pada media ini. Karena
kekuarangan ini maka sejak tahun 1950-an produksi selulose nitrat ini dihentikan
sarna sekali. Film selulose asetat lebih aman dan tidak mudah terbakar, tapi
tetap mengalami kerusakan setiap waktu karena mengeluarkan gas asam cuka (vinegar
syndrome).Karena mengeluarkan gas ini, menyebabkan bentuk mikro menjadi
rusak. Proses kerusakan selulose astetat ini akan berlangsung jika tidak
disimpan pada tempat yang memenuhi syarat. Polyester adalah film yang
direkomendasikan untuk pelestarian informasi (ANSI/IT 9.6 – American National Standard for Photography
(film).Savety photographic film). Bahan ini sangat stabil dan memiliki
daya tahan yang sangat baik. Mikrofilm hitam-putih dari polyester dapat bertahan
sampai 500 tahun
lebih jika diproses dengan standar lnternasional dan disimpan pada kondisi
lingkungan yang memenuhi syarat.
(1) Tipe Bentuk Mikro
Tipe Bentuk
Mikro Bentuk mikro dikenal dengan berbagai format. Format yang sangat dikenal
adalah:
a))
Mikrofilm, biasanya dalam ukuran 16 mm
dan 35 mm, dapat ditampilkan dalam bentuk rol, atau dipotong-potong pendek dalam bentuk strip
dan dimasukkan dalam jaket transparan seperti negatif foto atau dalam bentuk
kaset
b))
Mikrofis (microfiche) adalah
lembar film dalam ukuran 105 x 148 mm yang dapat menampung informasi sebanyak
98 halaman buku atau lebih tergantung pada faktor pengecilannya.
c))
Kartu Apertur (aperture cards) atau
dikenal dengan kartu image adalah film 35 mm yang ditempelkan pada suatu kartu
komputer yang dipakai untuk merekam gambar teknik.
(b) Komposisi Film: Ada 3 macam
komposisi film yang umum digunakan pada bentuk mikro, yaitu:
a))
Mikrofilm
silver gelatin (ANSI / NAPM 9.1 American National Standard for
phography (Film) – Archival record, silvergelatin type, with a base of savety
cellulose ester and polyester having silver gelatin emulsion). Tipe silver
gelatin (atau silver halide) mikrofilm pada dasarnya menggunakan teknologi
fotografi hitam putih dan biasanya digunakan untuk merekam informasi atau image
untuk tujuan pelestarian atau arsip. Informasi atau image yang dihasilkan
merupakan basil proses pembentukan secara kimia. Bahan kimia yang cukup
berbahaya dari proses ini dibilas dengan
air selama proses berlangsung. Generasi pertama dari mikrofilm silver gelatin
disebut master negatif. Dari master negatif ini dapat dibuat duplikat negative
dan mikrofilm positif untuk keperluan layanan.
b))
Mikrofilm
Diazo (ANSI / IT 9.5- American National Standard for
photography (Film)-Amonia-Processed diazo film specification for stability):
Emulsi pada permukaan film ini adalah campuran antara garam diazonikum dan zat
warna sehingga dapat memproduksi warna yang biasanya untuk membuat dupkikat
dari master negative. Pada proses pembentukan image, emulsi disinari dengan
radiasi UV. Mikrofilm ini kurang stabil dan kurang baik untuk penyimpanan
informasi dalam waktu yang lama.
c))
Vesikular
Mikrofilm (ANSI / IT 9.12- American National Standard for
photography (Film), processed vesicular film. Specification for
stability.Whether produced from an original negative or from an original
positive). Film ini juga menggunakan garam diazonikum yang tersebar pada permukaan
plastik, dengan adanya cahaya akan membentuk bayangan tersamar. Kemudian dengan
proses pemanasan akan dengan cepat bayangan tersamar dan menjadi bayangan
nyata. Kualitas resolusi image lebih rendah dari mikrofilm silver halide dan
mikrofilm diazo.
(b) Seleksi
Bahan Perpustakaan Untuk Preservasi Bentuk Mikro
Secara umum bahan pustaka tentang Indonesia diberikan prioritas yang paling
tinggi, sehingga pembuatan bentuk mikro merupakan alat kunci dalam menjamin
kelangsungan hidup koleksi yang berkelanjutan. Jenis bahan pustaka yang menjadi
prioritas utama dalam pembuatan bentuk mikro adalah:
a) Bahan
Pustaka Indonesia (Indonesiana) :Bahan pustaka yang tidak terbit
lagi dan setidaknya memenuhi criteria berikut akan dipertimbangkan untuk
bibuatkan bentuk mikronya, yaitu:
(1)
Nilai riset yang tinggi
(2)
Memiliki harga yang tinggi.
(3)
Kondisinya yang jelek/buruk
(4)
Penggunaannya yang tinggi
(5)
Unik
(6)
Bahan langka.
Prioritas akan ditetapkan berdasarkan suatu gabungan kriteria ini. Dari
prioritas paling tinggi sampai dengan criteria yang paling rendah, dibuatkan
daftar urutan prioritasnya.
b)
Naskah :Disamping
prioritas yang ditetapkan di atas,
naskah adalah koleksi satu-satunya. Oleh sebab itu harus dibuatkan
bentuk mikronya, kecuali koleksi naskah tersebut tidak lengkap.
c)
Peta :Pembuatan bentuk
mikro peta adalah salah satu pilihan untuk koleksi lembaran yang relatif luas
permukaannya. Pemilihan bagaimana cara pemotretannya harus dikonsultasikan
dengan penanggung jawab koleksi peta dengan memperhitungkan luas jangkauan
kamera dan kebutuhan para pengguna. Prioritas untuk membuat kopi akan
ditentukan dengan menggunakan kriteria di atas.
d)
Surat Kabar: Semua surat
kabar yang terbit di Indonesia dapat dipertimbangkan untuk dibuatkan bentuk
mikronya. Perpustakaan Nasional bertanggung jawab membuat bentuk mikro surat
kabar terbitan Jakarta, sedangkan surat kabar terbitan provinsi, masing masing
Provinsi mengusahakan pengalokasian dana untuk pembuatan bentuk mikro.
Perpustakaan Nasional tidak akan mampu menyimpan, melestarikan bentuk fisik
surat kabar nasional dan daerah karena keterbatasan dana dan tempat. Oleh sebab
itu semua surat kabar dibuatkan bentuk mikronya dan hanya dua atau tiga surat
kabar utama yang terbit di jakarta dan satu surat kabar utama dari
masing-masing daerah yang perlu disimpan.
Bidang/bagian yang
memproduksi bentuk mikro bertanggung jawab menyimpan dan memelihara master
negatif dari semua surat kabar Nasional dan menjamin bahwa tiga generasi master
negatif bentuk mikro yang dibuat dari film yang sesuai dengan standar diproduksi
dan disimpan dalam ruangan yang memenuhi syarat untuk kelangsungan hidup jangka
panjang.
(c) Standar
Perpustakaan yang membuat bentuk harus
menerapkan standar internasional, yang mencakup: (1) dalam pemilihan film yang
stabil, (2) melaksanakan kontrol kualitas yang ketat dari semua bentuk mikro
yang dihasilkan, termasuk melakukan methylene blue test untuk memerikksa adanya
residu thiosulfat pada film dan melakukan densito meter untuk memeriksa density
image, (3) memonitor dan mengendalikan kondisi lingkungan tempat penyimpanan
serta (4) melakukan penyuluhan kepada staf dan pengguna tentang penanganan
bentuk mikro.
(d) Penyimpanan
Master Negatif
Salah satu
problem dalam pelestarian bentuk mikro adalah sensitifnya terhadap iklim, sebab
sangat sulit memperbaiki bentuk mikro jika sudah terjadi kerusakan.Oleh sebab
itu harus tersedia tempat penyimpanan yang khusus. Idealnya, master negative (generasi
pertama) harus disimpan pada tempat yang aman, tahan api, bebas banjir dengan
kondisi lingkungan yang konstan dengan temperature antara 18 – 20 0 C dan
kelembapan udara (RH) antara 35 – 45 %.
(e)
Peralatan
yang Digunakan pada Pembuatan Bentuk Mikro
a)
Camera: Alat untuk memotret informasi
yang ada pada dokumen ke dalam bentuk mikro. Kamera ini dilengkapi dengan
sistem komputer yang dapat memprogram waktu pemotretan dan mengukur fokus
secara otomatis. Kapasitas dokumen yang dapat direkam adalah ukuran A4 dan A3.
b)
Mikro Processor: Alat untuk mencuci film
yang sudah merekam informasi. Dengan waktu yang relatif singkat sudah dapat
dilihat hasilnya. Mikrofilm yang dapat dicuci dengan alat ini adalah film
dengan ukuran 16 mm x 100 feet dan 35 mm x 100 feet.
c)
Micro Reader dan Micro Reader Printer:
Alat untuk membaca informasi yang ada dalam bentuk mikro dan alat ini dapat dihubungkan
dengan komputer dan dapat mencetak/mengkopi dengan printer komputer.
d)
Duplicator: Alat untuk
menggandakan/membuat duplikat mikrofilm
e)
Storage (tempat penyimpanan): Tempat
untuk menyimpan bentuk mikro. Tempat untuk menyimpan master negatif dipisah
dengan tempat penyimpanan mikrofilm
positif, dan kondisi lingkungannya pun berbeda.
f)
Densitometer: Alat untuk mengukur
kepadatan cahaya pada bentuk mikro.
g)
Splicer Film: Alat penyembung film
apabila terjadi kesalahan dan perlu suatu perbaikan
(f)
Prosedur
Pembuatan Bentuk Mikro
Dalam melakukan alih media ke dalam bentuk mikro,
ada beberapa tahap yang perlu diketahui, yaitu:
a)
Persiapan awal (preparation): berupa penelusuran data, penelitian dokumen yang akan
direkam, penelitian
bibliografis, serta penataan huruf sesuai dengan judul dokumen yang akan
direkam. Data bibliografis / diskripsi, nomor rol, tanggal pemotretan, judul
dokumen, thun terbit, nama penerbit, pengarang dan perimbangan reduksi dicatat
dalam suatu formulir.
b)
Pemotretan: Pada umumnya cara kerja
camera yang digunakan untuk pekerjaan pembuatan bentuk mikro hampir sama dengan
cara kerja camera fotografi, yaitu memasukkan film ke kamera, mengatur cahaya yang diperlukan.
Perbedaan yang mendasar adalah fotografi memotre benda yang bergerak, sedangkan
camera mikrofilm memotret benda yang tidak begerak. Pengaturan letak permukaan
dokumen diusahakan rata, fokus diset dengan mengatur ketinggian kamera,
pencahayaan diatur konstan sesuai dengan warn dokumen yang akan kita rekam
untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
c)
Processing: Untuk memproses film
digunakan bahan kimia seperti memproses film pada fotografi, yaitu developer
dan fixer. Developer berfungsi untuk menampakkan huruf atau gambar pada film,
sedangkan fixer berfungsi untuk menstabilkan huruf atau gambar tersebut
sehingga tidak lagi bereaksi
apabila film tersebut terkena cahaya. Dalam melakukan processing ini operator
dituntut
profesional (mempunyai keahlian, cermat dan teliti agar hal-hal yang merugikan
tidak terjadi. Apabila terjadi suatu kegagalan, kerugian biaya, waktu dan
tenaga.
d)
Persiapan yang perlu dikerjakan oleh
operator adalah:
memperhatikan suhu developer agar mencapai panas yang diperlukan, sirkulasi
air yang masuk dan keluar pada processor harus
seimbang dan perputaran film pada roda gigi harus sempurna. Sebaiknya processor ini ditempatkan
dalam kamar gelap untuk memperlancar kegiatan dalam memasukkan film kegalam processor.
e)
Duplikator: Alat ini dipakai untuk
menggandakan atau untuk membuat duplikat master negatif menjadi kopi negatif dan
mikrofilm positif (working positive)
untuk layanan. Pembuatan duplikat ini
penting keberadaannya karena pembuatan duplikat ini untuk mencegah kerusakan
master negatif karena digunakan untuk dibaca.
f)
Pemeriksaan hasil: kegiatan ini
diperlukan untuk mengetahui apakah hasil pemotretan, processing dan
penduplikasian sudah memenuhi standar yang ditetapkan. Kegiatan ini meliputi:
pengecekan hasil processing,
methylene blue test, pengecekan density (kepadatan cahaya pada huruf/gambar dan hasil
duplikasi.
g)
Finishing: yaitu kegiatan-kegiatan yang
perlu dikerjakan, meliputi: pencatatan hasil pemotretan, pengetikan label pada
kotak mikrofilm dan pemasukan data pada komputer.
(g)
Kerusakan
Koleksi Bentuk Mikro
Semua koleksi bahan pustaka, tak
terkecuali koleksi bentuk mikro akan menjadi rusak karena dimakan usia. Kita
tidak dapat menghentikan proses kerusakan, akan tetapi kita hanya dapat
menghambat kerusakan agar koleksi dapat dimanfaatkan oleh generasi yang akan
datang. Menurut (Ulger, 1992), yang dapat merusak koleksi bentuk mikro adalah
karena: (a) kondisi lingkungan tempat penyimpanan; (b) kurang teliti dalam
proses pembuatan dan (c) kesalahan penanganan clan penggunaan.
a)
Kerusakan
karena kondisi lingkungan
(1)
Kerusakan ini terutama suhu dan
kelembapan udara, pencemar udara dan jamur. Suhu udara dan kelembapan udara
yang tinggi akan menyebabkan emulsi pada permukaan film akan menjadi lunak
(berlendir) dan menempel satu dengan yang lainnya, berbau, tepi film mengkerut
dan melengkung, serta emulsi film memutih (silvering) akibat perubahan
kelembapan yang terlalu ekstrim.
(2)
Pencemar udara dapat merusak mikrofilm
positif seperti peroksida yang berasal dari kertas dan kayu, senyawa klorin
yang berasal dari pemutih kertas, nitrogen oksida dan sulfur dioksida yang
berasal dari pembakaran minyak bumi, hidrogen sulfida yang berasal dari karet
yang mengandung sulfur, zat- zat tambahan pada perekat, gas-gas yang keluar
dari cat, ozon yang berasal dari mesin fotocopy, ammonia, asap, insektisida,
debu akan membahayakan bentuk mikro.
(3)
Kertas bersifat higroskopis, yaitu dapat
menyerap gas-gas pencemar seperti gas sulfur dioksida, nitrogen oksida,
hydrogen sulfide dalam lingkungan udara lembab dan akan melepaskan gas-gas yang
bersifat asam jika kelembapan udara rendah (kering). Gas-gas pencemar yang
bersifat asam ini akan merusak mikrofilm.
(4)
Kerusakan yang terjadi adalah meredupnya
atau kaburnya image yang disebabkan oleh ozon dan nitrogen oksida,
bintik-bintik noda pada film disebabkan oleh asam yang terkandung dalam kertas,
baik oleh kertas seperti yang diuraikan di atas, maupun oleh kotak karton yang
mengandung lignin atau yang mengandung asam (non acid free) sebagai
pembungkus, noda kuning dan pelapukan disebabkan oleh kandungan nitrat yang
tinggi dalam film, kerusakan film disebabkan oleh sulfur dioksida serta
distorsinya image disebabkan oleh jamur.
(5)
Kerusakan karena kurang teliti dalam
proses pembuatan Kerusakan ini karena kurang memperhatikan standar kualitas
yang telah ditetapkan dalam ANSI/AIIM MS23-1998 (Kesse, http://palimpsest.stanford.edu/byouth/kesse.regro.htm)
seperti memeriksa kesalahan dalam pemotretan (fokus atau over exposed), kerusakan
permukaan film (goresan dan sidik jari), adanya bintik-bintik air pada saat
pengeringan (water spot), tidak menggunakan penutup halaman berikut dari
manuskrip sehingga timbul bayangan serta penggunaan methylene blue test untuk
mendeteksi adanya residu thiosulfat pada film.
b)
Kerusakan karena salah penanganan dan
pemakaian
(1)
Kerusakan yang terjadi karena kesalahan
dalam penanganan dan pemakaian ini adalah: tergores, terputus, memakai selotape
(pressure sensitive tape) untuk menyambung atau menempelkan label,
adanya sidik jari serta menyimpan mikrofilm dalam kotak yang tidak memenuhi
syarat.
(2)
Mikrofilm positif yang tergores selama
penyimpanan maupun selama pemakaian tidak dapat dihindarkan. Hal ini bisa saja
terjadi karena kurang bersihnya micro reader atau gesekan-gesekan benda
tajam lainnya.
(3)
Penggunaan selotape untuk
menempelkan label nama manuskrip atau menyembung mikrofilm yang putus akan
merusak mikrofilm itu sendiri. Hal ini disebabkan karena perekat pada selotape
mengandung asam yang dapat merusak emulsi.
(4)
Terputusnya mikrofilm disebabkan karena
tidak hati-hati dalam dalam pemakaian atau dapat juga karena sengaja disambung
untuk menyatukan sebuah manuskrip agar tidak terletak di dua rol yang berbeda.
(5)
Sidik jari menurut Harrell (1996)
merupakan tanda bahwa mikrofilm sering digunakan. Sidik jari orang mengandung
lemak, asam, garam dan kontaminan lain yang berbahaya bagi emulsi film. Lemak
merupakan pemicu tumbuhnya spora jamur dan akan menyebar pada emulsi silver
gelatin. Sidik jari mengandung deposit yang menyebabkan tergoresnya film.
(6)
Menyimpan mikrofilm dalam kotak yang
tidak memenuhi syarat merupakan kegiatan yang dapat merusak mikrofim. Sesuai
dengan anjuran The National Archive of Australia (1999), penyimpanan mikrofilm
yang paling aman adalah dimasukkan ke dalam kotak karton bebas asam dan bebas
lignin (archival quality enclosure).Mikrofilm dapat juga disimpan dalam
kotak plastik (dari polypropelene atau polycarbonate) atau dalam kotak logam
(aluminium).Tapi harus diingat bahwa kalau menyimpan dalam kedua jenis kotak
ini harus mengkondisikan kelembapan udara dalam kotak sesuai dengan kondisi
yang ideal bagi mikrofilm. Kalau kelembapan udara dalam kotak tersebut tinggi,
akan menyebabkan tumbuh
jamur, berlendir, kriting dan berbau pada mikrofilm.
2.7 Pengawasan Pelaksanaan Pelestarian Bahan Perpustakaan
a.
Monitoring.
Setelah mempelajari jenis bahan perpustakaan, kerusakan yang terjadi,
perencanaan pelestarian, dan organisasi yang berkembang baik di negara-negara
maju, di Perpustakaan Nasional RI sebagai instansi pembina maupun
unit-unit pelestarian yang terdapat di daerah provinsi di Indonesia, serta
pelaksanaan pelestarian yang umum dilaksanakan di unit-unit pelestarian baik
yang ada di luar negeri maupun yang ada di Perpustakaan Nasional RI, maka peserta pendidikan dan pelatihan
diharapkan dapat memonitor kegiatan pelestarian yang ada di daerahnya
masing-masing.
Kegiatan monitoring tersebut antara lain:
a.
Sudah sejauh mana pelaksanaan
pelestarian di instansi masing-masing.
b.
Memonitor kondisi lingkungan
perpustakaan, termasuk temperature, kelembapan udara, cahaya yang masuk keruang
penyimpanan dan tingkat polusi udara.
c.
Memonitor pelaksanaan pelestarian yang
sederhana maupun yang kompleks, termasuk perbaikan fisik sampai penjilidan
ulang maupun pelestarian informasi.
d.
Melakukan survei terhadap bahan
perpustakaan yang perlu dilestarikan.
e.
Memonitor apakah ada pelatihan dalam
bidang pelestarian, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya program ini
bagi para pustakawan maupun pemustaka.
f.
Mengarahkan pengawasan kepada unit
pelestarian serta memelihara kerja sama yang baik dengan unit-unit lain dalam
perpustakaan.
g.
Memonitor tata letak perlengkapan
perpustakaan seperti rak dan lemari terhadap pencahayaan dan lain-lain untuk
mengurangi risiko kerusakan.
h.
Memonitor apakah ada dari kepala unit pelestarian
maupun stafnya untuk mengikuti seminar atau workshop atau semacam penyuluhan
yang diadakan oleh instansi yang sudah maju unit pelestariannya.
2. Evaluasi
Untuk mengevaluasi pelaksanaan pelestarian di
perpustakaan peserta pendidikan dan pelatihan, pimpinan perpustakaan tersebut
perlu mengidentifikasi kegiatan yang diperlukan dalam melestarikan koleksi
bahan perpustakaannya. Untuk maksud tersebut diperlukan kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
a.
Identifikasi kondisi fisik dan
kondisi lingkungan perpustakaan.
b.
Kegiatan perawatan dan perbaikan
sedehana pada koleksi bahan perpustakaan.
c.
Kegiatan penjilidan ulang bahan
perpustakaan.
d.
Kegiatan fumigasi dan anti rayap pada
gedung perpustakaan.
e.
Kegiatan alih media pada naskah kuno dan
koleksi langka.
f.
Keikutsertaan pimpinan unit pelestarian
dan stafnya dalam kegiatan kerja sama pelestarian dan seminar/workshop/ penyuluhan
pelestarian.